Dibandingkan dengan Metallica, saya sebetulnya tidak terlalu mengikuti dan hafal musik-musik thrash metal ala Megadeth. Lagu-lagu mereka sesekali nyantol di telinga saat memainkan playlist bergenre Metal di saluran Spotify. Metallica dan Lamb of God lebih sering saya dengarkan. Namun, sebagai pendengar musik metal, musik-musik mereka asyik didengarkan begitu saya menyaksikan konser mereka di Jogjarockarta 2018.
Lagu ‘Hangar 18’ dipilih sebagai pembuka konser puncak Jogjarockarta 2018 yang dibawakan oleh Dave Mustaine dan kawan-kawan. Berikutnya secara bertubi-tubi, lagu-lagu andalan seperti ‘The Threat is Real’, ‘Wake Up Dead’, ‘Sweating Bullets’, ‘Trust’, ‘Conquer or Die’, ‘Dystopia’, ‘Symphony of Destruction’, dan ‘Holy Wars’ dimainkan dengan penuh energi di atas panggung. Sekurangnya ada sekitar 20-an lagu yang dimainkan Megadeth dalam waktu kurang lebih satu setengah jam.
Formasi Megadeth yang didatangkan ke festival musik ini yaitu Dave Mustaine (guitar/vocal), David Ellefson (bass), Kiko Loureiro (guitar), dan Dirk Verbeuren (drum). Jika Dave dan David adalah dua orang pendiri Megadeth yang masih aktif sejak pertama kali dibentuk, Kiko dan Dirk baru bergabung sekitar dua atau tiga tahun belakangan. Mereka berdua masih tampak muda dengan dandanan yang mirip dengan Dave dan David: rambut panjang bergelombang warna cokelat muda.
Sepanjang konser, tidak banyak penonton yang hafal lirik-lirik lagu Megadeth. Beberapa pengunjung cukup fasih ‘sing along’ melafalkan lirik-lirik Megadeth melalui lagu-lagu pamungkasnya.
Sementara itu, Dave Mustaine dengan menenteng gitar berbentuk Flying V terus menerus menghajar panggung utama Jogjarockarta 2018. Dengan gayanya yang tenang, ia lebih sering menyanyi sambil melihat ke arah mikrofon. Dari kejauhan, yang tampak hanyalah rambut panjangnya yang terurai menutup wajah.
Bagi beberapa orang, musik keras tidak selalu didengarkan dengan membaca lirik, tapi cukup didengarkan hentakan irama musiknya yang megah dan gahar. Untuk alasan yang kedua, bisa saja orang itu penasaran dengan bagaimana lagu itu dimainkan dengan alat musik, lalu keluar bebunyian yang enak nan dahsyat di telinga.
Saya termasuk jenis penonton yang kedua. Bagi saya, jika seseorang sudah menyukai sebuah genre, maka itulah yang namanya selera. Mau bandnya apapun kalau musiknya masuk dalam selera pendengarnya, ya hajar saja bos!
Sebagai salah satu band metal terbaik dunia yang masuk dalam Big Four (Metallica, Anthrax, Slayer, Megadeth), kunjungan Megadeth ke Jogjarockarta 2018 terlalu sayang untuk dilewatkan. Kalau Anda pernah menonton video dokumenter “The Big Four: Live from Sofia, Bulgaria (2010)”, maka itulah alasan saya tertarik untuk menonton konser Megadeth.
Rasa rindu menyaksikan konser metal semakin memuncak. Terakhir kali datang ke festival sejenis yaitu saat Rock in Solo tahun 2014. Satu acara festival musik metal tahunan yang digelar di Solo dengan menghadirkan banyak band manca maupun lokal bergenre rock/metal. Sayang, festival itu kini sudah tak kedengaran lagi nasibnya sejak terakhir kali digelar pada tahun 2015.
Misi lain saya datang ke acara Jogjarockarta 2018 adalah menonton band-band rock/metal lokal. Kebetulan sekali band-band yang turut mengisi Jogjarockarta tahun ini cukup menarik buat saya. Ada Elpamas, Sangkakala, Koil, Blackout, Edane, Seringai, Indra Lesmana Project (ILP), dan God Bless. Band-band metal yang sekalipun dimainkan dengan tempo sangat cepat, setidaknya masih bisa dilafalkan liriknya. Band-band yang punya pertautan antara genre rock dan heavy metal.
Saya tak menyaksikan seluruh penampilan band tersebut karena baru bisa datang menjelang malam hari. Dari pengalaman yang sudah-sudah, acara dengan konsep festival semacam ini biasanya baru akan mulai meriah dan berapi-api menjelang sang bintang tamu tampil di penghujung acara.
Band pertama yang naik ke atas panggung setelah Maghrib adalah Seringai. Mereka dikenal sebagai band rock beroktan tinggi asal Jakarta. Seingat saya, Seringai termasuk band yang jarang manggung di Jogja. Mereka lebih sering diundang manggung di acara pameran clothing atau kendaraan custom.
Menyaksikan secara langsung band yang musiknya lebih sering dimainkan lewat pemutar musik rasanya sungguh menggairahkan. Mereka sudah tak muda lagi, tapi sayangnya mereka adalah para generasi menolak tua! Band yang baru saja merilis album Seperti Api ini memainkan nomor-nomor seperti ‘Tragedi’, ‘Akselarasi Maksimum’, ‘Persetan’, ‘Mengadili Persepsi’, ‘Lagu Ini Tak Sependek Jalan Pikiranmu’, ‘Taring’, ‘Program Party Seringai’, ‘Adrenalin Merusuh’, ‘Dilarang di Bandung’, dan ‘Selamanya’. Visualisasi yang hadir di belakang panggung dan didominasi oleh ilustrasi-ilustrasi khas Seringai menambah aura band menjadi semakin gagah.
Jika diminta menyebutkan satu band beraliran progresif metal Indonesia terbaik saat ini, saya tanpa ragu akan menjawab ILP. Band metal yang digawangi oleh musisi jazz Indra Lesmana ini menyuguhkan irama-irama yang mengingatkan pendengarnya akan musik-musik ala Dream Theater.
Kemampuan teknikal bermain musik dan suara-suara yang dihasilkan para personel band yang baru saja merilis mini album Sacred Geometry ini begitu padat dan megah. Saya tak henti-hentinya menyimak bagaimana sang drummer Hata Arysatya dan gitaris Rayhan Syarif melakukan kemampuan itu dengan luar biasa.
Di antara pengunjung Jogjarockarta, beberapa yang hadir adalah bapak-bapak beserta anggota keluarganya yang tujuannya sudah bisa ditebak, yakni menyaksikan God Bless. Mereka adalah band rock legendaris Indonesia yang personelnya sudah tak berusia muda lagi. Formasi God Bless yang hadir pada kesempatan itu adalah Ahmad Albar (vokali), Ian Antono (gitar), Donny Fatah (bass), Abadi Soesman (keyboard), dan Fajar Satritama (drum). Fajar juga tergabung dalam Edane, band yang juga tampil di Jogjarockarta 2018.
Meskipun tak sebaik dulu, vokalis kawakan Ahmad Albar masih kuat menyanyikan lagu-lagu terbaik God Bless seperti ‘Menjilat Matahari’, ‘Panggung Kehidupan’, ‘Rumah Kita’, ‘Kehidupan’, dan ‘Semut Hitam’. Banyak pengunjung yang terlihat lebih fasih menyanyikan tembang-tembang terbaik God Bless. Pada Jogjarockarta 2017, God Bless juga sempat tampil sebelum Dream Theater unjuk gigi.
Secara keseluruhan, gelaran festival Jogjarockarta 2018 sangat memuaskan. Jika dibandingkan dengan festival sejenis semacam RIS, Jogjarockarta punya kualitas yang jauh lebih baik. Dari tata panggung, tata cahaya, visual artistik panggung, dan kualitas suara, semuanya sangat keren. Keamanan terkendali dan saya pikir orang-orang yang datang ke acara tersebut memang punya niat untuk menyaksikan festival musik yang berkelas.
Dengan harga banderol Rp 700.000 per tiket masuk, untuk ukuran menonton festival musik di Jogja memang mahal. Beruntung saya bisa mendapatkan tiket separuh harga dari teman yang batal datang ke acara itu. Sudah lebih dari cukup untuk mengobati kekecewaan tahun lalu saat tak bisa menyaksikan Dream Theater hadir di Jogjarockarta.
Sekarang, giliran menunggu Metallica, Anthrax, Slayer, Slipknot, atau Korn saja datang ke Jogja. Mari menabung… \m/