Liverpool, Pandemi, dan Angkat Trofi

Tiga puluh tahun tak pernah terasa singkat. Jika dihitung berdasarkan rata-rata usia kehidupan umat manusia yang mencapai 60 tahun, maka kurun waktu tiga puluh tahun adalah separuhnya. Bila sebuah klub sepakbola hanya pernah juara liga tiap 30 tahun sekali, maka manusia paling hanya akan menyaksikan menyaksikan sebuah klub sepakbola bisa mengangkat trofi liga paling banyak dua kali semasa hidupnya. Miris, tetapi bisa jadi itu yang bakal dirasakan oleh sebagian fans Liverpool.

Memang sulit membayangkan klub yang berdiri sejak tahun 1982 tak kunjung mengangkat trofi dalam 30 tahun terakhir, sejak Premier League digaungkan sebagai suksesor Football League (Liga Divisi Utama Sepakbola Inggris). Bukan semata karena Liverpool pernah tampil buruk dan membosankan, melainkan karena sejarah yang pernah membentuknya teramat sulit untuk dilepaskan dari bagian sejarah sepakbola di masa lampau.

Nama-nama pemain legenda yang membayangi Liverpool di era sebelum tahun 90-an seperti Phil Neal, David Fairclough, Alan Kennedy, John Aldridge, Ian Callaghan, Jimmy Case, Phil Thompson, Jan Molby, Terry McDermott, David Johnson, dan Ray Clemence, rasanya sudah begitu sulit untuk diingat-ingat. Mereka adalah pemain-pemain Liverpool yang cukup menonjol di eranya, membawa klubnya meraih trofi di level liga maupun turnamen tahunan.

Fans Liverpool saat ini barangkali akan lebih familiar dengan nama-nama seperti Bill Shankly (ikon kejayaan Liverpool), Kenny Dalglish (pemain sekaligus pelatih Liverpool, menjadi bagian dari skuat Liverpool saat terakhir kali juara liga tahun 1989/1990), Rafael Benitez (pelatih yang membawa Liverpool juara Liga Champions 2005), Steven Gerrard (pemain era milenium yang paling setia menjadi pemain Liverpool sejak kurun 1998-2015).

Beberapa kali ganti pelatih dan pemain, tetapi belum menemukan pakem bermain sepakbola yang pas. Beberapa kali nyaris menjadi juara liga, tetapi keberuntungan itu tak jua datang. Beberapa kali sampai ke laga final kompetisi, tetapi hasilnya tak berjalan mulus.

Sampai kemudian The Reds menemukan pelatih yang cocok menakhodai klub. Ia adalah Juergen Klopp, pelatih berkebangsaan Jerman yang sebelumnya menangani Borussia Dortmund selama 7 tahun (2008-2015). Harapan-harapan terus dinyalakan sejak kedatangan pelatih yang dijuluki ‘The Normal One’ itu pada tahun 2015, meski hasilnya baru bisa dipetik beberapa tahun kemudian.

Klopp adalah pelatih yang menjadi role model permainan sepakbola yang menyenangkan. Pelatih ikonik yang meleburkan harmonisasi di tubuh para pemain dan staf internal klub. Sosok yang tidak saja disukai oleh para analis taktik, tetapi juga oleh penikmat sepakbola secara umum.


Liverpool bersama Klopp ditakdirkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang sulit sebelum bisa menjadi juara di negaranya sendiri. Melewati sederet kompetisi yang menguras emosi dan energi.

Pencapaian yang diraih pasca menjuarai Liga Champions 2018/2019, ternyata membawa Liverpool kembali ke era kejayaan. Kiprahnya tak berhenti sampai di situ saja.

Mahkota juara yang disematkan kepada klub menjadi semacam pemantik, meski pada kenyataannya harus merelakan beberapa kesempatan seperti Piala 2019 FA Community Shield (kalah atas Manchester City), Piala EFL / Carabao Cup 2020 (kalah di babak penyisihan melawan Aston Villa, Liverpool menggunakan skuat lapis 3), juga Liga Champions 2019/2020 (kalah di babak 16 besar melawan Atletico Madrid).

Setelah menjuarai Liga Champions tahun 2018/2019, Liverpool lalu menggondol Piala UEFA Super Cup 2019. Jelang pertengahan musim, The Reds memboyong trofi Piala Dunia Antarklub tahun 2019, sebelum akhirnya bisa memastikan menjadi juara Premier League 2019/2020 pada pekan ke-32 dengan selisih poin yang sudah tak mungkin dikejar oleh klub peringkat kedua, Manchester City.

Hasil ini menjadi semacam bukti dan garansi bahwa Liverpool sudah bermain lebih baik ketimbang musim lalu di level liga. Di atas kertas, jarak klasemen Liverpool di peringkat kedua dan Manchester City di peringkat pertama pada musim 2018/2019 begitu tipis, yakni 1 poin. Namun, konsistensi Manchester City telah mengalahkan segala ambisi Liverpool meraih juara pada musim itu.

Penampilan apik Liverpool musim ini tak terlepas dari aksi para pemain yang terus mengasah kemampuannya. Mereka bukan pemain yang dipoles dalam waktu semalam. Mental mereka sudah terasah, berkali-kali belajar bagaimana menjadi seorang pecundang dan pemenang.


Mereka bermain sepakbola secara apa adanya. Tak terlihat seperti sedang mengejar sesuatu, entah itu rekor, ambisi menjadi pemain terbaik, keinginan merekrut pemain kelas dunia, atau bahkan menjadi klub terbaik di dunia. Fokus, fokus, dan fokus dengan segala sumber daya yang dimiliki. Itulah kata kuncinya.

Tak dinyana, wabah pandemi COVID-19 menyerang sepenjuru dunia awal tahun ini. Segala aktivitas yang melibatkan kontak manusia tiba-tiba harus diberhentikan untuk sementara waktu. Kompetisi dan liga sepakbola pun kena imbasnya. Mandek. Beberapa liga bahkan terpaksa harus diberhentikan di tengah jalan oleh federasi negaranya masing-masing, seperti terjadi di Liga Prancis, Belanda, dan Belgia.

Eskapisme tumbuh kembali. Rasa waswas yang tidak begitu asing di benak para suporter kembali membuncah. Ketakutan jika Premier League diputuskan ‘null’ dan ‘void’ akan menjadi momok yang bakal dicatat dalam sejarah. Beruntung hal itu tak terjadi.

Liverpool masih bisa melanjutkan perjalanan sampai akhir musim sampai trofi Premier League itu diangkat pada hari ini, 23 Juli 2020, selepas pertandingan pekan ke-37 melawan Chelsea yang dilakukan di Stadion Anfield, yang berakhir dengan skor kemenangan 5-3.

Juara sudah ditentukan, musim segera berganti. Jendela transfer sudah mulai dibuka. Klub-klub Premier League segera menyongsong musim depan dengan wajah-wajah baru beserta target yang ingin dikejar. Sementara itu, kursi-kursi stadion mungkin masih dibiarkan akan tetap kosong tanpa penonton.

Seperti halnya aras kehidupan yang lain, dunia olahraga pascapandemi bakal menjadi dunia ‘normal baru’ atau new normal. Setelah ini, dunia sepakbola juga akan merasakan anomali yang bisa jadi akan membawa masa depan sepak bola ke arah yang berbeda. Dari soal protokol keamanan dan kesehatan, regulasi pertandingan, sampai kepada nilai transfer pemain.

Satu pelajaran penting menjadi bagian dari fans Liverpool adalah bermain bagus saja kadang tidak cukup. Atau kalau bermain bagus itu diidentikkan dengan angka statistik yang menakjubkan sekalipun, itu juga tidak cukup. Perlu momen yang tepat dan keberuntungan untuk memanfaatkan keacakan yang terjadi di atas lapangan.

Dan Liverpool, kali ini, berhasil memenangkan keberuntungan itu. Selamat dan semoga tahun depan bisa menggenapkan trofi liga menjadi yang ke-20!

 

Komentar
You May Also Like