Tumbuh Dewasa dengan Lagu-Lagu Lord Didi Kempot

Tumbuh Dewasa dengan Lagu-Lagu Lord Didi Kempot

Awal tahun 2000-an menjadi salah satu tonggak baru industri musik di tanah air. Di tengah ingar bingar era baru tahun milenial, muncul alat pemutar musik yang dinamakan VCD Player. Sebuah alat yang cukup populer dan sedikit menggeser penggunaan mini compo atau pemutar musik portabel sejenis walkman.

Hampir setiap rumah punya VCD Player bagai jamur di musim penghujan. Rasanya perangkat tersebut memiliki dua keunggulan. Pertama, harga alat pemutar tersebut yang relatif terjangkau dan banyak pilihan. Kedua, harga CD atau DVD yang murah dan bisa memuat banyak konten multimedia, dari album, kumpulan album, video klip, sampai kumpulan video.

Bisa dibayangkan betapa efisiennya alat itu jika dibandingkan dengan kaset pita. Kaset pita paling banter hanya bisa merekam satu album dan hanya bisa menampilkan suara belaka. Sementara VCD tampil lebih interaktif lewat suara dan video. Sebuah VCD Player bisa dihubungkan ke semua televisi dengan dilengkapi remote control. Jika ingin mengganti-ganti lagu cukup dengan menekan tombol remote.

Dan bagian yang paling saya suka adalah perangkat tersebut bisa dihubungkan ke beragam jenis speaker yang ada di pasaran. Suaranya bisa disetel sesuai selera, mau bass-nya dibikin tinggi, mau treble-nya dibikin tinggi, semua bisa dicoba-coba.

Awalnya harga VCD Player memang terbilang mahal di masanya. Hanya segelintir orang yang tertarik membeli perangkat itu. Namun, perlahan-lahan perangkat itu dihargai cukup murah dan menawarkan banyak fitur. Termasuk kemampuan perangkatnya yang bisa dihubungkan dengan microphone sehingga memungkinkan aktivitas karaoke di rumah.

Seiring perjalanan waktu, kemunculan VCD Player justru menambah masalah baru. Banyak album musik yang dibajak tanpa izin sehingga merugikan label dan musisi. Begitu juga dengan video dan film yang semakin mudah diunduh lewat internet.

Di sisi lain, fenomena tersebut juga menguntungkan musisi-musisi yang baru lahir. Jika lagu-lagu mereka disukai, maka popularitas mereka juga akan semakin tinggi. Memang sulit untuk tidak mengaitkan popularitas VCD Player dengan hadirnya musisi-musisi baru yang tidak dinaungi oleh label mayor.


Para penjual CD dan DVD bajakan ada dimana-mana. Setiap kali ada musik dan film baru yang rilis, versi CD dan DVD-nya pasti sudah ada di rak-rak para pelapak. CD dan DVD bajakan menjadi hal yang lumrah karena memang belum ada regulasi yang jelas.

Didi Kempot Bangkit Lagi

Tak bisa dimungkiri jika saya dan mungkin banyak orang di Indonesia yang mengenal lagu-lagu karya Didi Kempot pertama kali lewat VCD Player. Bagi mereka yang hidup di sekitaran Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, lagu-lagu tembang Jawa sepertinya hampir selalu ada di tiap rumah dalam bentuk keping CD.

Orang tua saya hampir setiap pekan membeli CD terbaru yang beredar saat itu. Lagu-lagu yang ada didominasi oleh tembang Jawa, dangdut, dan lagu-lagu kenangan lokal maupun mancanegara. Hampir setiap hari lagu-lagu itu diputar sampai hafal di luar kepala. Hebatnya lagi, setiap lagu juga ada videonya, entah video asli yang dicomot secara cuma-cuma atau memang video yang betulan dibuat khusus untuk mengisi visual CD/DVD tersebut.

Di masa itulah saya banyak mendengarkan lantunan tembang-tembang Jawa. Nama-nama beken pencipta lagu Jawa saat itu seperti Manthous, Sonny Joss, Ki Narto Sabdo, dan Waldjinah malang melintang muncul di cover CD tembang Jawa itu. Baru kemudian muncul nama Didi Kempot. Genre CSGK alias Campur Sari Gunung Kidul menjadi salah satu genre yang paling sering diputar setiap kali ada acara hajatan.

Lagu ‘Stasiun Balapan’ menjadi salah satu lagu Didi Kempot berbahasa Jawa yang pertama saya kenal saat itu. Seturut dengan itu, saya juga sering mendengarkan lagu ‘Kuncung’ dan ‘Cintaku Sekonyong Konyong Koder’. Baru belakangan ini saya tahu jika lagu ‘Cintaku Sekonyong Konyong Koder’ juga diciptakan oleh Didi Kempot. Dulu saya hanya tahu lagu itu dinyanyikan oleh Sentot, kakak kandung Didi Kempot, dengan aransemen dangdut koplo.

Berkat lagu ‘Stasiun Balapan’ yang ikonik itu, saat masih SD dan SMP sempat punya angan-angan bila suatu saat nanti kelak saya akan tahu wujud dari Stasiun Balapan. Ketika itu saya sama sekali belum pernah naik kereta.

Stasiun itu seperti menjadi titik perpisahan yang begitu mendalam dan penuh kenangan. Tak hanya relevan bagi mereka yang sedang memadu kasih, tetapi juga bisa digunakan untuk mengungkapkan bagaimana perasaan ketika seseorang ditinggal oleh seseorang yang dicintainya pergi merantau jauh. Termasuk bagaimana perasaan orang tua yang ditinggal anaknya pergi merantau.


Janji lungo mung sedhelo…
Jare sewulan ra ono
Pamitmu naliko semono…
Ning Stasiun Balapan Solo…

Ngobam (ngobrol bareng musisi) yang digagas oleh Gofar Hilman menjadi salah satu titik balik bagaimana Didi Kempot ternyata juga digemari oleh kawula muda di berbagai belahan Indonesia meskipun terkadang mereka tidak tahu artinya. Lagu-lagu Didi Kempot diam-diam juga digemari oleh banyak netizen. Terbukti beberapa waktu yang lalu pemujaan terhadap lagu-lagu ‘nggrantes’ bernuansa patah hati ala Didi Kempot yang dipantik oleh Agus Mulyadi mendapat sambutan yang riuh.

Kendati banyak lagu Didi Kempot yang sebetulnya bergenre pop Jawa, tetapi Didi Kempot tidak menampik bila ada orang yang menyebut musiknya bergenre campur sari. Itu semata ia lakukan untuk menghormati para pencipta pertama lagu-lagu campursari. Pada kenyataannya, lagu-lagu Didi Kempot bisa juga dinyanyikan dalam format campur sari, keroncong, dan koplo.

Hampir setiap penyanyi dangdut rasanya pernah menyanyikan lagu ciptaan Didi Kempot. Lagu-lagu khasnya yang mudah dicerna dan dekat dengan keseharian masyarakat menjadi salah satu alasan kenapa lagu-lagu itu acapkali dinyanyikan. Beberapa lagu populer Didi Kempot sebut saja ‘Sewu Kutho’, ‘Suket Teki’, ‘Cidro’, ‘Banyu Langit’, ‘Layang Kangen’, dan ‘Dalan Anyar’ seperti tidak lekang oleh waktu.

Sampai sekarang sudah ada lebih dari 800 lagu lebih yang pernah digubah Didi Kempot. Jika Anda sering mengamati channel Youtube dan Spotify ofisial milik Didi Kempot, hampir seminggu sekali ada materi baru. Entah itu lagu baru atau lagu lama tetapi dinyanyikan dengan aransemen baru.

Perkembangan platform yang semakin masif juga memudahkan Bapak Patah Hati Nasional ini terus mengenalkan karya-karya barunya agar bisa dinikmati semua kalangan. Dari acara ngobam itu ia juga bilang tidak terlalu pusing mengurus perihal royalti dengan banyaknya musisi yang mengcover lagu-lagunya selama tidak dikomersialkan.

Salah satu hal yang menyenangkan dari Didi Kempot adalah cara agar bagaimana Didi Kempot tidak hanya dikenal di satu daerah saja dengan menciptakan lagu berjudul nama daerah atau lokasi wisata. Ia selalu ingin dikenal tidak hanya oleh orang-orang yang berasal dari Solo saja, kota kelahirannya, tetapi juga oleh orang-orang di seluruh dunia. Ia seringkali menceritakan bagaimana ia begitu dielu-elukan oleh orang-orang Suriname yang

Semisal ia pernah menciptakan lagu berjudul ‘Segoro Tuban’, ‘Pantai Klayar’, ‘Hargo Dumilah’, ’Teluk Penyu, ‘I Love Kebumen’, ’Kangen Suroboyo’, ‘Eling Taiwan’, ‘Kenyo Suriname’, ‘Parangtritis’, ‘Jembatan Suramadu’, dan lain sebagainya.

Tak disangka, lagu-lagu Didi Kempot masih dikenal oleh generasi saat ini. Lagu-lagu yang menemani saya sejak sekolah, kuliah, hingga jadi ‘cah kerjo’. Berkat dukungan dari para sadbois, sadgirl, sampai kempoters, julukan khas pendengar lagu Didi Kempot, ia tampaknya semakin percaya diri dan semakin semangat untuk terus berkarya.

Lanjut terus, The Godfather of Broken Heart!

 

Komentar
You May Also Like