Farid Stevy Asta, dengan tubuh cekingnya, muncul dari balik panggung bersamaan dengan personel-personel lainnya. Ia mengenakan jaket kulit warna hitam. Kepalanya ditutupi topi pancing (fishing hat) yang mengingatkan saya pada outfit Liam Gallagher saat konser Oasis Live in Manchester 2005.
Sebelumnya, papan-papan digital yang menggantung di atas panggung menampilkan aneka rupa visualisasi digital, termasuk lambang ‘=’ (setara), yang menjadi ciri FSTVLST. Tak lama kemudian, kilat-kilat lampu mulai menyambar seisi gedung PKKH UGM. Bercahaya dan lamat-lamat menghadirkan suara.
“Orang-Orang di Kerumunan” menjadi lagu pembuka Tanah Indah. Sebuah lagu sapaan riuh kepada para Festivalist–sebutan untuk fans FSTVLST–cukup sebagai lagu pemanasan. Berikutnya disambung dengan lagu-lagu “Bulan, Setan, atau Malaikat”, “Satu Terbela Selalu”, juga “Tanah Indah untuk Para Terabaikan Rusak dan Ditinggalkan”.
Setelahnya, FSTVLST sempat menyanyikan sebuah nomor baru berjudul “Telan Cakrawalanya”, lagu yang kabarnya belum pernah mereka nyanyikan di atas panggung. Di lagu ini, Farid ditemani seorang perempuan bernama Anita Siswanto. Sesi pertama berakhir dengan lagu “Hujan Mata Pisau”.
Tema Tanah Indah diambil dari lagu “Tanah Indah untuk Para Terabaikan Rusak dan Ditinggalkan”, salah satu lagu di album Hits Kitsch. Selain konser musik, Tanah Indah juga menyuguhkan pameran seni yang karya-karyanya merupakan hasil pertautan dari lagu-lagu FSTVLST. Sebuah ikhtiar untuk menggelorakan FSTVLST sebagai sebuah band, sekaligus pertautannya dengan seni rupa.
Farid dan Roby, dua personel FSTVLST, dikenal sebagai penggagas dan pelaku seni yang cukup dikenal dalam berbagai event seni di Jogja. Berbagai karya seni rupa kontemporer, poster-poster acara musik, juga foto-foto lawas, dari zaman Jenny hingga FSTVLST ikut dipamerkan. “Kami pun geli sendiri melihat foto-foto tersebut”, kenang Farid di sela-sela repertoar konser. Pameran tersebut sedianya berlangsung selama tiga hari sejak dibuka dengan konser FSTVLST.
Di sesi kedua, Jenny dihadirkan ke atas panggung. “Mahaoke” dimainkan dalam format akustik, dipilih sebagai lagu pertama. Kemudian dilanjutkan dengan “Monster Karaoke”, “120”, “Menangisi Akhir Pekan”, dan “Manifesto Postmodernism”. Tiga lagu terakhir dimainkan dalam format band.
Teman Pencerita dan Klub Mati Muda–sebutan untuk fans Jenny–tampak masih hafal dengan lirik-lirik di album Jenny pertama yang bertajuk “Manifesto”, yang sempat dirilis tahun 2009 lalu. Terbukti mereka masih tak segan untuk sing-a-long di sepanjang lagu-lagu tersebut dimainkan.
Konon dulu Jenny dikenal sebagai band dari selatan Jogja yang jika manggung di daerah utara sering dianggap terlarang. “Ada cinta di selatan dan utara”, kata Farid, “sehingga malam ini kami memilih bermain di utara”.
Jenny terbentuk tahun 2003, yang awalnya hanyalah sebuah band yang bertugas untuk mengisi malam keakraban di kampus ISI Jogja. Jenny di masanya sering pentas dari satu panggung kecil ke panggung kecil lainnya, dari satu kafe ke kafe lainnya, dari satu kampus ke kampus lainnya.
Jenny yang dimaksud tentu bukanlah Jenny von Westphalen, istri Karl Marx. Jenny–menurut representasi Farid– digambarkan sebagai seorang wanita sundal yang meninggal ketika melahirkan anak perempuan kecil hasil hubungan terlarang, dan keempat personel Jenny harus membesarkan dan menjadi bapak tidak resmi dari anak tersebut. Pengertian yang absurd. Yang jelas, Jenny adalah cikal bakal FSTVLST. Sebuah jenama yang pada akhirnya membentuk genre ‘almost rock barely art’ – hampir rock nyaris seni.
Sesi ketiga diawali dengan pembacaan syair “Hal-Hal Ini Terjadi” oleh penyair kondang Gunawan Maryanto. Semacam musikalisasi sajak yang diiringi oleh bebunyian-bebunyian alat musik sejenis terompet. Bait-baitnya menceritakan kejadian-kejadian kelahiran anak manusia yang sarat dengan antitesis. Tulisan yang awalnya merupakan kado ulang tahun pertama untuk anak laki-laki salah satu teman Farid di Makassar.
Seisi ruang masih gelap karena lampu penerang dimatikan sementara. Di sisi yang saling berhadapan dengan panggung FSTVLST tiba-tiba muncul sebuah video klip “Akulah Ibumu”. Klip yang menarik. Dengan mengambil lokasi di atas sebuah bukit di batas samudera, klip tersebut mencoba menyampaikan pesan tentang hubungan seorang anak manusia dengan ibunya.
Begitu klip berakhir, penonton segera berbalik ke panggung utama. FSTVLST hadir menyanyikan lagu yang sama, disertai dengan kehadiran dua perempuan cantik. Satu perempuan mengisi bagian lagu dengan gaya sinden, satu perempuan berduet dengan sang vokalis.
Intro lagu “Menantang Rasi Bintang” berkumandang. Seketika itu langsung disambar koor massal penonton. Lagu manis yang dibawakan dengan senandung setengah akustik. Merupakan single pertama dari album Hits Kitsch. Track berikutnya di sesi ketiga yaitu “Hari Terakhir Peradaban”, kemudian disusul lagu “Mati Muda” yang secara bersama-sama dimainkan oleh para personel FSTVLST dan Jenny, sekaligus dipilih sebagai lagu terakhir.
Belum juga berhenti sampai di situ. Farid tiba-tiba muncul kembali dengan menenteng gitar akustik sambil bertelanjang dada. Inilah “Ayun Buai Zaman”, menjadi track encore. Farid melakukan body surfing di antara kerumunan. Tubuhnya dioper kesana kemari untuk menyapa para penggemarnya. Pada akhirnya, sang frontman membacakan ucapan terima kasih kepada semua pihak, kemudian ditutup dengan sesi foto bersama penonton.
Bagi saya, tata panggung dan visual konser Tanah Indah cukup menawan dan tampak digarap dengan serius. Penggunaan properti-properti seperti buku saku (Tanah Indah untuk Para Terabaikan Rusak dan Ditinggalkan), payung hitam (Hujan Mata Pisau), dan selendang merah (Akulah Ibumu) memberikan kesan penjiwaan yang berlebih dalam setiap lagu.
Namun, untuk urusan suara, saya masih merasa jika sound yang dikeluarkan seharusnya bisa lebih baik lagi. Suara instrumen bisa lebih imbang dan nendang. Bisa dimaklumi karena gedung pertunjukan di area kampus seringkali harus dibatasi oleh suara maksimum yang dibolehkan dari pengeras suara. Jumlah penonton yang tidak terlalu banyak (sekitar 200-an) dan dilangsungkan secara indoor dalam luasan 30 x 30 meter juga menunjukkan bahwa konser kecil ini digelar secara istimewa, tetapi tetap meriah.
FSTVLST adalah Roby Setiawan (gitar), Humam Mufid Arifin (bas), Danish Wisnu Nugraha (drum) dan Farid Stevy Asta (vocal). Sedangkan di formasi Jenny, Roby dan Farid ditemani oleh Anis Setiaji (Drums) dan Arjuna Bangsawan (Bass). FSTVLST adalah hasil reinkarnasi Jenny. Malam itu Jenny dan FSTVLST tengah bersua ke Tanah Indah. Saya menyaksikannya di barisan kerumunan Teman Pencerita dan Festivalist.
kan kuajak mereka yang merasa serupa…
kan kujemput jiwanya dirumahnya…
jiwa-jiwa yang terabaikan rusak dan ditinggalkan…
terundang terbang bersama…
*diambil dari lirik Tanah Indah untuk Para Terabaikan Rusak dan Ditinggalkan