Twitter, Tagar Berjalan

Twitter, Tagar Berjalan

Pagi masih tampak buta, sementara ayam sudah berkokok. Saya terbangun karena alarm di ponsel cerdas berbunyi. Tubuh masih agak malas beranjak dan kepala masih kaku. Mata sudah mulai terbuka, tetapi lebih memilih untuk menatap layar ponsel cerdas. Ada sebuah pesan masuk, tiga email yang belum dibaca, serta lima gamitan Twitter terbaru. Semua isi notifikasi tersebut segera saya baca satu per satu. Namun, Twitter selalu membuat saya penasaran atas siapa yang terakhir kali menggamit.

Twitter memang gila. Sekarang ada 4500 tweets yang mengalir setiap detik. Sampai tulisan ini dibuat setidaknya sudah terdapat 500 juta lebih akun Twitter di seluruh dunia. 60% pengguna Twitter mengakses Twitter melalui ponsel cerdas setiap waktu. Twitter bagaikan miniatur pembicaraan orang-orang di seluruh dunia. Setiap orang bisa saja mempunyai lebih dari satu akun. Akun boleh dibuat asli atau anonim.

Dulu saya membuat Twitter pun karena teman-teman yang lain adalah pengguna Twitter. Banyak orang punya Twitter. Barrack Obama punya Twitter. Belum lama ini, Presiden SBY akhirnya punya Twitter. Selebriti punya Twitter. Pemain sepakbola sejagad punya Twitter. Setiap komunitas punya akun Twitter. Menteri, kiai, ustaz, sampai motivator kondang punya Twitter. Figur terkenal, rakyat biasa, bahkan manusia tanpa identitas asli (anonim) pun punya akun Twitter. Tak punya Twitter dianggap gagap teknologi. Twitter bagai virus, menular dari satu orang ke orang yang lain.

Semua orang bisa mencurahkan gagasan-gagasannya ke dalam kotak input Twitter. Twitter tak seperti blog. Jack Dorsey, pendiri Twitter, hanya membatasi 140 karakter untuk sekali twit. Menarik. Kata-kata jadi senjata utamanya. Ada akun yang sesekali bercanda, ada akun yang gemar menyampaikan kalimat kuotasi, ada akun yang rajin berbagi pengetahuan, ada pula yang suka melempar pertanyaan-pertanyaan kritis. Itu berlangsung selama 24 jam tanpa henti.

Galau. Jatuh cinta. Marah. Sedih. Senang. Bahagia. Macet. Panas. Hujan. Semua beresonansi diantara gelembung-gelembung kicau Twitter. Ada yang saling berkenalan dengan lewat Twitter. Ada yang saling bertengkar, kemudian saling Unfollow. Tidak saling follow dianggap bukan teman. Mencari golongan darah bisa dengan ngetwit. Ada yang pamer foto travelling. Ada yang butuh bantuan bisa dipanggil lewat twit. Bertegur sapa dengan idolanya pun bisa dengan ngetwit.

Istilah-istilah baru mulai bermunculan di jejaring informasi Twitter. Twitwar!. Kultwit. KEPO (Knowing Every Particular Object). Followback. DM (Direct Messages). Hashtag. Mentions. Retweet. Trending Topic. No Mention. Unfollow. Verified Account. Fake Follower. Block. Selebtwit. Profpic, header, dan bio Twitter menjadi hal yang penting. Entah untuk memberikan citra atau branding tertentu atas sebuah akun.

Hal paling menyenangkan sekaligus menggelikan di Twitter adalah ketika terjadi Twitwar. Sasarannya biasanya adalah orang-orang yang salah mengambil kebijakan atau ketidaksetujuan atas sebuah argumen, terutama yang berhubungan dengan hal-hal sensitif. Debat kusir? Kadang begitu. Kubu yang pro bersikukuh dengan pendapat yang dianggapnya paling benar. Kubu yang kontra menyerang dari sisi-sisi argumen terlemah. Hujan gamitan datang bertubi-tubi. Jika sudah kelewat menyebalkan, bisa-bisa salah satu dari mereka melakukan Block akun. Aman.


Banyak tragedi yang muncul karena Twitter. Revolusi Timur Tengah pernah disulut lewat Twitter. Akun Twitter Menkominfo pernah diserang karena kebijakan pornografi. Tak jarang berbagai gosip, isu, dan hoax kerapkali disebarkan, lalu merambat kemana-mana begitu liar. Paling mengerikan adalah berita orang yang belum mati dikabarkan sudah mati.

Aksi solidaritas biasanya ditunjukkan dengan memberi tagar pada setiap tweet. #SaveIndonesia, #MenolakLupa, dan #SaveOrangUtan adalah beberapa tagar yang pernah tersemat begitu berani. Di hari bergantinya tahun, banyak orang ‘make a wish’ dengan menyertakan tagar-tagar bertema tahun baru. Sebagai bukti nasionalisme, ngetwit pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan negara lain menjadi kewajiban. Setiap pergerakan pemain ditwitkan pemirsa linimasa. Begitu riuh. Begitu ramai. Komentar-komentar saling berebut opini.

Intensitas ngetwit dan jumlah follower menjadi ukuran eksistensi seseorang. Semakin banyak follower maka akan semakin populer akun tersebut. Akun-akun baru sibuk mencari follower. Untuk tujuan tertentu, jumlah follower menjadi bisnis yang dapat ditukar dengan rupiah. Saya kadang heran, puluhan ribu follower dijual hingga jutaan rupiah. Menjual sesuatu yang tak berwujud itu seperti menjual angin. Tak terlihat, tetapi sangat dibutuhkan. Meraup sebanyak mungkin follower bukan tujuan, melainkan bagian dari strategi. Untuk apa follower itu? Begini, follower biasanya adalah orang-orang yang rajin menyimak twit-twit kita. Entah karena menarik, kritis, atau memang layak untuk disimak. Follower adalah massa tak tampak yang ada di dunia Twitter.

Pekerjaan orang seperti yang pernah kita lihat di film Republik Twitter itu memang ada. Akun-akun politik dibuat untuk meraih massa sebanyak-banyaknya. Akun yang dikelola biasanya lebih dari satu. Politik adalah strategi. Tidak mudah mengelola akun-akun semacam itu. Tren positif harus diciptakan untuk menarik banyak follower. Berbagai piranti digunakan untuk melakukan analisis. Saingan-saingan terberat bisa dikaji. Akun-akun palsu bisa mudah diketahui.

“Twitter tidak akan menyelesaikan masalah”, kata mereka. Saya setuju dengan pernyataan tersebut. Bagaimanapun Twitter adalah media massa yang dikelola secara online. Aksi massa secara offline sudah biasa terjadi karena didukung oleh aksi online. Komunitas Jalin Merapi tahun 2010 lalu adalah bukti yang konkret. Twitter menjadi salah satu corong untuk menggalang bantuan. Relawan-relawan bergerilya mengumpulkan informasi terkini seputar Bencana Erupsi Merapi. Begitu cepat dan tangkas. Pemerintah kalah cepat. Bantuan tetap digulirkan secara offline, bukan online.

Matahari merambat memburu senja. Orang-orang mulai pulang dari tempat bekerja. Sebagian mulai melepas rutinitas masing-masing dan beralih ke aktivitas lain. Ada yang ngecek Twitter, ada yang ngecek Facebook, dan ada juga yang memantau aplikasi messenger. Sore itu saya duduk di dalam sebuah gerbong kereta yang penuh. Sebagian besar penumpangnya adalah muda mudi. Beberapa dari mereka menggenggam ponsel cerdas. Kepalanya menunduk dan terlihat asyik menikmati apapun yang ada di telepon genggamnya.

Generasi menunduk? Kadang saya tak setuju dengan makna konotasi istilah tersebut. Bukankah ponsel cerdas memang dibuat agar dapat dibawa kemana-mana? Saat berdiri, berjalan, makan, bahkan menunggu. Ah, mereka menunduk karena butuh informasi yang termutakhir. Seperti kata Don Tapscott di bukunya ‘Grown Up Digital’, sekarang adalah eranya Net Gener (Generasi Internet) yang punya kebiasaan berbeda dengan generasi sebelum internet (baby boom). Bagi saya, hanya orang yang tidak tahu diri yang ketika diajak ngobrol atau berkomunikasi malah sibuk dengan gadgetnya sendiri.


Sejak November 2010, slogan Twitter diganti dari yang semula ‘What are you doing?’ menjadi ‘What’s Happening?’. Istilah Trending Topic mengudara dan mencerminkan pembicaraan manusia yang komunal. Realistis. Dunia bagaikan ada di dalam tagar. Apa yang sedang terjadi sekarang? Apa yang sedang ramai dibicarakan sekarang? Belantika linimasa cukup diamati dengan tagar. Siapa tak kenal tagar, ia akan tertinggal dengan informasi terkini. Seberapa cepat tagar berganti, maka secepat itulah dinamika informasi di dunia berubah. Tagar selalu berjalan mencari titik-titik anomali yang terjadi di dunia saat ini.

Sebentar, saya mau ngecek Twitter saya dulu. Ternyata tak ada satu gamitan pun yang melintas. Malam ini, linimasa sedang sepi.

Komentar
You May Also Like