Selalu ada nuansa yang berbeda saat menyaksikan paduan budaya masa lampau berjalin kelindan dalam kehidupan masa kini. Dan inilah yang terjadi jika Anda berkunjung ke warung-warung kuliner di seputaran Solo Raya. Di beberapa tempat, irama musik keroncong masih berdendang dari warung soto hingga warung wedangan.
Hajatan Solo Keroncong Festival (SKF) 2016 pada 14-15 mei 2016 adalah bukti lain yang membuat Solo masih konsisten mendukung citranya sebagai kota keroncong. Tahun ini, panggung festival keroncong didirikan di pelataran Benteng Vastenburg. Tema “Trisula Keroncong Mendunia” diangkat untuk mengenalkan tiga jenis keroncong yang masih ada hingga saat ini, meliputi keroncong asli, keroncong kreasi modern, dan keroncong orkestra.
Keroncong asli biasa dimainkan oleh tujuh orang personel, memainkan lagu-lagu langgam keroncong asli. Alat musik yang digunakan masih tradisional seperti ukulele cak, ukulele cuk, gitar akustik, rebab, bas betot, dan suling bambu. Keroncong kreasi modern dimainkan dengan tambahan alat musik yang lebih modern, seperti gitar melodi, biola, flute, selo, dan kontrabas. Variasi lagu yang dimainkan pun lebih bebas. Sedangkan keroncong orkestra merupakan jenis keroncong yang paling megah. Selain membutuhkan banyak personel, alat musiknya juga lebih variatif seperti layaknya pertunjukan orkestra pada umumnya.
Acara hari pertama SKF 2016 baru dimulai sekitar pukul 20.30 WIB. Tampak beberapa tamu undangan menempati tempat duduk. Sebagian penonton lainnya duduk lesehan, sedangkan sisanya memilih menyaksikan sambil berdiri. Di lokasi yang sama, juga berdiri stan-stan Galeri Keroncong Bercerita, wahana nostalgia yang memajang galeri-galeri keroncong masa lalu. Semuanya dapat dinikmati secara gratis.
Panggung SKF malam itu didekorasi menyerupai muka bangunan Stasiun Jebres. Bangunan stasiun yang masih kental nilai heritage-nya sekaligus mengingatkan gairah masa lalu. Dari suara-suara khas petugas stasiun, bunyi lonceng ala stasiun, hingga alunan musik keroncong yang dilantunkan oleh sekumpulan musisi jalanan.
Sebelum acara dimulai, serombongan pawai kecil yang terdiri dari barisan anak-anak dan remaja yang membawa obor muncul dari balik keramaian. Simbol bahwa musik keroncong, kendati sudah berumur tua, dapat dinikmati siapa saja. “Saat ini keroncong bukan hanya dimainkan atau digemari oleh orang tua saja, namun sudah menular ke semua lapisan, dari mulai anak-anak hingga dewasa,” jelas FX Hadi Rudyatmo saat memberikan sambutan sebelum acara dibuka.
Petikan suara alat musik ukulele cak dan cuk, yang dimainkan oleh Walikota Solo FX. Hadi Rudyatmo dan Wakil Walikota Solo Achmad Purnomo menandai dibukanya acara SKF 2016. Sebuah langgam “Bengawan Solo” yang dinyanyikan oleh pak walikota beserta jajaran dan segenap penyelenggara turut mengawali dimulainya festival tersebut. Tak ketinggalan, penyanyi keroncong legendaris Waldjinah juga hadir sebagai tamu undangan malam itu. Meski sudah tampak keriput dan susah berjalan, penyanyi yang pernah berjaya melalui lagu Walang Kekek itu masih bisa ikut bernyanyi.
Penampilan pembuka itu diiringi oleh grup keroncong penyandang tunanetra asal Solo, Yaketuntra (Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra). Semua personel Yaketuntra, termasuk para penyanyinya, terdiri dari para tunanetra yang berumur di atas 40 tahun ke atas. Meskipun demikian, beberapa dari mereka sudah pernah mengenyam pendidikan sarjana.
Festival keroncong yang digelar untuk ketujuh kalinya itu menghadirkan beberapa grup orkes keroncong dari berbagai daerah di Indonesia, semisal grup keroncong Gita Abadi dari Tulungagung, grup keroncong Okeji Lapis Legit dari UPI Bandung, serta grup keroncong Gema Tugu Yogya.
Grup keroncong Gita Abadi menyuguhkan sajian keroncong orkestra yang terdiri dari 28 personel. Uniknya, di antara personel tersebut ada yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kebanyakan dari personel Gita Abadi adalah pemain biola. Penampilan menarik lainnya datang dari grup keroncong kreasi modern Okeji Lapis Legit, yang personelnya adalah para mahasiswa pendidikan seni UPI Bandung. Mereka unjuk gigi dengan kostum nyentrik, warna warni ala tahun 80-an.
Pertunjukan malam pertama SKF 2016 berusaha menampilkan grup-grup keroncong yang merepresentasikan Trisula Keroncong. Sayangnya, saya tidak bisa hadir di malam kedua SKF yang menurut jadwal akan menghadirkan beberapa bintang tamu seniman dan penyanyi keroncong. Mereka adalah Waldjinah, Butet kertaredjasa, Djaduk Ferianto, Tuti Maryati, Endah Laras, dan Sruti Respati.
Selain dihadiri para tamu senior, malam kedua SKF juga dimeriahkan oleh grup-grup keroncong dari Solo, yaitu Orkes Keroncong Sri Lumbung Pari, Allegro Sanaparane (ISI Surakarta), serta Orkes Keroncong Solo Manise.
Ibukota Keroncong
Ada beberapa musisi keroncong yang sejak awal dilahirkan dan berkarya di Solo. Munculnya para maestro keroncong itu seiring dengan popularitas musik keroncong yang masih dimainkan banyak kalangan, termasuk radio dan televisi lokal. Bahkan beberapa karya musisi tersebut dikenal sampai ke luar Indonesia.
Almarhum Gesang Martohartono, sang Buaya Keroncong, adalah salah satunya. Ia adalah seorang maestro keroncong, penyanyi sekaligus penggubah lagu keroncong Indonesia. Lagu ciptaannya, Bengawan Solo, telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa di dunia. Lagu-lagu populer hasil karyanya yang masih sering dibawakan dalam format keroncong termasuk lagu Jembatan Merah, Bumi Emas Tanah Airku, dan Pandanwangi.
Selain Gesang, ada pula almarhum Andry Any. Ialah pencipta lagu-lagu yang masih sering dinyanyikan dalam aransemen keroncong sampai saat ini seperti Jangkrik Gènggong, Yèn ing Tawang Ana Lintang, Nyidham Sari, serta Taman Jurug. Konon lagu-lagu ciptaannya sudah mencapai 1000-an lebih.
“Mohon maaf pak wali, saya protes, musik keroncong tak hanya ada di Solo, di setiap kota di Jawa Timur ada musik keroncongnya. Saya lebih cocok menyebut Solo sebagai ibukota keroncong nusantara,” kata salah satu penampil yang mencoba nggambleh kepada Walikota Solo di sela-sela penampilannya di atas panggung. Sejenak saya jadi teringat Koes Plus, grup musik pop legendaris Indonesia era 70an asal Tuban (Jawa Timur) yang memang sudah menelurkan beberapa album keroncong.
Jika melihat tapak tilasnya, akar musik keroncong dipengaruhi oleh musik fado yang dibawa oleh para pelaut dan budak kapal niaga Portugis sejak abad ke-16 di Nusantara. Musik tersebut dibawa masuk melalui Malaka. Ketika musik keroncong dikenal di Nusantara, alat musik yang digunakan pun masih menggunakan komponen alat musik tradisional seperti gamelan.
Sebelum era kemerdekaan, musik keroncong telah lebih dulu masuk ke Solo lewat sebuah siaran Soloische Radio Vereegining (SRV) pada masa pemerintahan Belanda tahun 1943. Pada tahun itu, dikenal Radio Orkes Surakarta (ROS) di bawah arahan Djentot YPS. ROS melahirkan beberapa penyanyi keroncong yang kita kenal sampai sekarang, seperti Gesang, Ismanto, Walujo, Waldjinah, dan Suprapti. Kelak pada tahun 1945, SRV diambil alih oleh pemerintah RI menjadi Radio Republik Indonesia (RRI). Saat ini, ROS masih aktif dan berganti nama menjadi Orkes Krontjong Asli Studio Surakarta, pimpinan Sapari.
Penyebutan Solo sebagai kota keroncong tidak serta merta menjadikan Solo sebagai kelahiran musik keroncong. Musik keroncong adalah milik Nusantara. Setiap daerah sangat mungkin mempunyai ciri khasnya sendiri, bergantung pada komponen alat musik tradisional/daerah yang diselipkan. Maka dari itu tak ada salahnya, menyebut Solo sebagai ikon, sekaligus ibukota bagi musik keroncong Nusantara. Karena dari sanalah musik keroncong masih berdenyut mengikuti gerak zaman.
Solo dinobatkan sebagai kota keroncong sejak tahun 2009, bertepatan dengan gelaran Solo Keroncong Festival yang pertama. Semenjak itulah, pemerintah kota Solo mencanangkan agenda tahunan SKF.
Semoga keroncong Indonesia semakin jaya dan mendunia. Sampai jumpa di SKF tahun depan!
NB: Artikel ini pernah diterbitkan pada situsweb minumkopi.com. Dipublikasikan di web ini pada 15 April 2020 sebagai arsip pribadi.