Siang itu matahari mulai terik. Kami berenam sedang duduk-duduk sambil berteduh di sebuah beranda pool pemberhentian bus antarkota. Tak lama kemudian sebuah bus berplat nomor AA itu berhenti di depan kami. Pak supir memarkir bus itu di haluan pelataran Terminal Jombor. Bus yang di sisi kanan kirinya tertulis “Safari Dharma Raya” itu rencananya akan membawa kami menuju pulau seribu pura, Bali.
Nama OBL, sebutan lain untuk Safari Dharma Raya, diambil dari nama juragan si pemilik bus tersebut, Oey Bie Lay. OBL awalnya adalah perusahaan keluarga yang khusus menangani usaha transportasi opelet. Selain mengangkut penumpang, OBL juga menyediakan armada untuk mengangkuti hasil perkebunan tembakau. OBL mulai dioperasikan sejak tahun 1950 di sekitar wilayah Temanggung.
OBL yang kami tumpangi terdiri dari 28 kursi penumpang plus selimut, full AC, serta dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Bus yang memang didesain untuk menembus perjalanan jarak jauh dan lintas pulau. Jalur OBL ini akan bergerak dari Jogja-Solo-Ngawi-Jombang-Mojokerto-Pasuruan-Probolinggo-Bondowoso-Situbondo-Banyuwangi, hingga menyeberang ke Pulau Bali. Saat kami menggunakan jasa bus OBL, tarif untuk sekali perjalanan Jogja-Bali adalah 275.000.
Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Pulau Dewata. Sebuah pulau yang entah kenapa selalu membuat saya ingin mengunjungi lagi pulau itu di kemudian hari. Saya mengingat lagi peristiwa sembilan tahun yang lalu. Masa di mana saya untuk pertama kalinya mengunjungi Bali dalam rangka study tour SMA. Ada semacam kesan tersendiri tentang Bali yang membedakan pulau itu dengan pulau Jawa yang saya tinggali sehari-hari.
Jam di layar ponsel cerdas mulai bergeser satu jam lebih cepat, tanda WIB bergeser ke WITA. Posisi kami saat itu sedang terapung di atas selat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Bus OBL naik kapal feri dari pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) ke pelabuhan Gilimanuk (Bali). Satu jam perjalanan di atas air kami nikmati di waktu-waktu menjelang dini hari. Suara debur ombak dan angin yang cukup lebat menemani para penumpang yang ingin bepergian entah kemana.
Di sepanjang perjalanan pagi dari Gilimanuk menuju Denpasar yang ditemui adalah pohon-pohon yang menghijau, sawah-sawah yang tersusun rapi, pura-pura di depan rumah, juga hamparan laut yang sesekali terlihat di balik jendela kaca kendaraan. Anjing-anjing kampung juga tampak berkeliaran di beberapa pelataran.
Sampai di Bali
Bus tiba di Terminal Mengwi pukul 8.00 pagi. Sungguh terminal besar yang sepi. Begitu turun dari bus dan menurunkan barang-barang dari bagasi, kami langsung diserbu para sopir dan calo perjalanan. Mereka menawarkan berbagai moda transportasi, khususnya mobil carteran, yang siap membawa kami ke mana pun kami mau. Tarifnya bergantung seberapa jauh dekat, dengan sopir atau tidak, juga seberapa lama kendaraan tersebut akan disewa.
Ubud akan menjadi daerah tujuan kami yang pertama, sebelum bertolak ke Kuta, tempat kami akan menghabiskan hari-hari selanjutnya. Kami tertarik mengunjungi Ubud karena ada banyak objek wisata alam di sana. Selain itu, Ubud juga belum pernah kami kunjungi.
Dalam perjalanan menuju Ubud, kami mampir di sebuah warung nasi lawar di daerah Sanglah. Warung yang terletak di depan pelataran rumah itu ramai dikunjungi warga, termasuk mereka yang membawa kendaraan motor atau mobil. Meskipun berasal dari Bali, nasi lawar berbeda dengan nasi Bali. Sebutan lawar digunakan untuk menyebut masakan berupa campuran sayur-sayuran dan daging cincang yang dibumbui. Penamaan lawar bervariasi, bergantung pada jenis daging atau sayuran. Ada yang disebut lawar babi, lawar nangka, lawar merah, lawar putih, dan lawar padamare. Lawar nangka, jenis lawar yang kami makan pagi itu, telah cukup mengganjal rasa lapar kami.
Sesampainya di Ubud, kami langsung mengunjungi objek wisata taman monyet (Monkey Forest). Monyet-monyet menyambut kedatangan kami. Di sana ada banyak pelancong dari mancanegara yang tampak berlibur menikmati suasana. Monkey Forest tak ubahnya sebuah kebun binatang atau wilayah konservasi yang didalamnya terdapat habitat monyet. Tempatnya rimbun, segar, dan banyak ditumbuhi pepohonan besar yang masih asri.
Bertolak dari Monkey Forest, kami berlanjut mengunjungi persawahan terasiring Tegalalang. Bukan semacam tempat wisata, melainkan sebuah pemandangan petak-petak sawah yang berundak. Orang-orang mengunjungi Tegalalang untuk berfoto di sekitar persawahan tersebut. Ruas jalan sepanjang Tegalalang dimanfaatkan penduduk sekitar untuk membuka lapak pasar seni dan handycraft. Sisanya merupakan restoran dan warung makan yang menawarkan keindahan pemandangan Tegalalang.
Kunjungan ke Istana Tampaksiring kami urungkan karena tutup. Kebetulan kami sampai di Bali bertepatan dengan tanggal merah. Konon istana tersebut dibangun atas prakarsa Presiden Soekarno setelah kemerdekaan Indonesia, dikerjakan oleh seorang arsitek bernama RM Soedarsono. Sebuah istana yang menawarkan kesejukan yang jauh dari ramainya kota, terletak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
Di kota Gianyar, kami juga sempat mampir ke sebuah warung yang menjual Ayam Taliwang untuk makan siang. Konon ayam taliwang yang dijual di sana mirip dengan ayam taliwang asli yang dijual di Lombok, pulau seberang di sebelah timur Pulau Bali. Sepaket ayam taliwang dihidangkan dalam rupa satu ekor ayam bersama nasi dan lalapan. Gianyar sendiri termasuk kabupaten terletak di sisi paling timur Pulau Bali. Ada sebuah pelabuhan di Gianyar yang memang dijadikan persinggahan sebelum berlayar ke Pulau Lombok.
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Uluwatu menjadi pilihan terakhir untuk memburu senja. Jika Gianyar ada di sisi timur Bali, maka Uluwatu ada di sisi paling ujung selatan Pulau Bali. Di sepanjang perjalanan dari Gianyar menuju Uluwatu, kami menemui banyak pemandangan air laut. Mobil melintasi bypass Ngurah Rai, di sanalah kami melihat hamparan proyek hasil reklamasi Teluk Benoa.
Di Uluwatu, rencananya kami akan menyaksikan pertunjukan Tari Kecak yang digelar ketika matahari hampir terbenam. Pelancong harus membayar uang masuk seharga seratus ribu rupiah untuk dapat menikmati pertunjukan. Pertunjukan Tari Kecak sedang berlangsung, tepat ketika kami datang. Pentas yang digelar di atas bukit dan pemandangan lautan luas itu menghasilkan momen yang sangat eksotis. “Cak, cak, cak”, begitulah para penari mengawali pertunjukan sore itu. Tarian itu dipentaskan oleh 70-an orang lelaki yang bertelanjang dada, mengenakan sarung bermotif catur, serta bersemat udeng di kepalanya.
Bule-bule tampak bertebaran di jalanan Kuta. Bali serasa bukan Indonesia. Malam itu kami masuk ke hotel tempat kami menginap. Hotel kelas melati itu terletak tidak jauh dari pusat keramaian di bilangan Jalan Kartika, Kuta. Rasa lelah semakin membendung. Kami bersiap menghadiri acara seminar internasional selama tiga hari ke depan.