Keampuhan Jejaring Informasi dan Sosial dalam Menghadapi Bencana di Indonesia

Keampuhan Jejaring Informasi dan Sosial dalam Menghadapi Bencana di Indonesia

Sebagai negara tropis yang rawan akan datangnya bencana, Indonesia mau tidak mau harus tetap waspada dalam melakukan penanganan bencana. Penanganan yang bersifat tanggap darurat menjadi prioritas utama untuk menekan jatuhnya korban jiwa. Untuk itu, kebutuhan informasi yang akurat, cepat, dan mudah dijangkau sangat diharapkan untuk membantu penanganan bencana secara menyeluruh.

Beberapa bulan yang lalu, secara berurutan beberapa bencana besar telah meluluhlantakkan sebagian bumi Indonesia, diantaranya banjir bandang di Wasior, tsunami di Kepulauan Mentawai, serta Erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan sekitarnya. Banyak kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dan relawan terkait dengan proses penanganan bencana yang harus segera dilakukan saat itu. Diantaranya karena lokasi bencana yang sulit dijangkau, medan yang sulit dilalui karena efek bencana, kurangnya koordinasi dalam penyaluran informasi, serta minimnya peralatan evakuasi.

Selalu ada pro dan kontra dalam menangani setiap permasalahan yang ada. Kenyataannya, hal ini justru akan menambah ruwet proses penanganan bencana jika tidak diselesaikan secara bijak. Misalnya dalam hal evakuasi korban bencana, distribusi bantuan dan logistik secara merata, serta kesigapan pemerintah dalam menentukan prediksi pascabencana.

Sebagai contoh, untuk melakukan evakuasi korban dan melaporkan situasi terakhir medan bencana, tentu diperlukan alat komunikasi yang handal sebagai media koordinasi. Seperti dilakukan oleh warga sekitar yang terhubung melalui Kompak Merapi, penggunaan handy talkie (HT) sangat membantu komunikasi dan usaha pemantauan. Akan tetapi, usaha tersebut kurang mendapat dukungan nyata dari pemerintah, misalnya dalam penyediaan alat komunikasi dan bantuan operasional lainnya.

Peran media informasi kian tangguh dalam penyebaran informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Jika dahulu media hanya sebatas radio, televisi, dan media cetak yang masih terkesan searah, maka sekarang komunikasi dapat dilakukan dua arah. Masyarakat menjadi sigap dalam melakukan umpan balik ke penyedia informasi. Akibatnya, pemerintah dinilai kalah cepat dengan kepedulian masyarakat dalam masalah penanganan bencana, terutama dalam hal distribusi bantuan.

Kecanggihan media telekomunikasi dan informasi telah mampu digabungkan menjadi satu kemasan. Hasilnya muncul berbagai aplikasi jejaring informasi dan sosial yang mudah diakses melalui berbagai perangkat telekomunikasi portabel. SMS, telepon seluler, dan internet saling dikawinkan untuk membantu pengelolaan distribusi bantuan ke daerah-daerah yang sulit dijangkau.

Dengan pemanfaatan media tersebut, para relawan tidak perlu terlalu lama menunggu instruksi dan bantuan dari pemerintah. Banyak masyarakat independen yang tergerak untuk bahu-membahu kepada saudaranya yang sedang tertimpa musibah secara sukarela. Sebab, bagaimanapun juga para korban dan pengungsi lebih membutuhkan bantuan secepat mungkin tanpa mewajibkan syarat yang berbelit-belit.


Twitter dan Facebook

Salah satu studi kasus yang menarik untuk dibahas adalah ketika terjadi bencana Erupsi Merapi. Bencana yang mungkin terjadi secara beruntun dalam sekali periode, tidak seperti banjir dan tsunami yang sesekali terjadi. Melihat pandangan ilmiah pakar kegunungapian, ketika itu diramalkan bahwa efek erupsi akan berlangsung selama beberapa minggu, sehingga diinstruksikan agar warga harus bertahan di dalam pengungsian hingga keadaan benar-benar aman.

Kebutuhan informasi tentang bantuan dan pendataan pengungsi semakin dicari seiring dengan semakin luasnya peta persebaran pengungsi di daerah sekitar lingkar Merapi. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dengan generasi digitalnya, mulai memanfaatkan kesempatan tersebut untuk beraksi menyediakan penyaluran informasi, bantuan, dan tenaga secara virtual. Baru kemudian disampaikan ke pihak yang membutuhkan secara nyata.

Melalui sistem penggalangan bantuan dan penyediaan informasi yang terorganisir, pengelolaan penanganan bencana menjadi lebih efektif tanpa campur tangan pemerintah. Buktinya, beberapa hari setelah gencar tanggap bencana erupsi diberitakan, dengan berbagai inisiatif, warga mulai menggalang kepedulian melalui jejaring informasi dan sosial populer.

Sebut saja Posko Jalin Merapi (Jaringan Informasi Lingkar Merapi), yang pada awalnya hanya membuat web yang berisi foto terkini keadaan Merapi dan radio streaming yang terhubung dengan relawan pemantau melalui HT, pada akhirnya disempurnakan dengan membuat akun Twitter @jalinmerapi, akun grup Facebook Jalin Merapi, serta portal khusus Jalin Merapi yang beralamat di www.merapi.combine.or.id.

Sukiman Mochtar Pratomo, warga Desa Deles, Kecamatan Sidorejo, Klaten, yang berjarak hanya 4 kilometer dari puncak Gunung Merapi dan 1 kilometer dari Sungai Woro yang telah dibanjiri lahar dingin, adalah salah satu pengelola akun Twitter @jalinmerapi. Pengamatan visual dari jarak dekat memang beresiko tinggi. Tapi Sukiman dan relawan lain telah empat tahun melatih diri dengan standar Search and Rescue (SAR). Dalam waktu cepat, akun ini telah diikuti lebih dari 30 ribu followers. Mereka mengelola komunikasi dua arah dan membagi info krusial seputar Gunung Merapi [Malik, 2010].

Lain lagi seperti yang telah dilakukan oleh Saptuari Sugiharto, seorang pengusaha muda sukses yang bergerak di percetakan digital. Jejaring sosial Facebook dan Twitter dimanfaatkan olehnya sebagai wadah bersosialisasi dan menggalang dana bencana Merapi sehari setelah Merapi meletus tanggal 26 Oktober lalu. Ia mengajak teman-temannya untuk ikut berbagi. Pada awalnya ia hanya berharap memperoleh uang satu hingga dua juta saja beserta sejumlah barang. Namun, setelah dua minggu kemudian, hasilnya cukup mencengangkan, halaman Facebook dan Twitter-nya mampu meraup bantuan lebih dari 170 juta rupiah [Sucahyo, 2010].


Tidak hanya sampai di situ, Saptuari berusaha memindai seluruh kuitansi belanja dan memotret proses penyerahan barang bantuan kepada korban. Seluruh teman Facebook atau follower di Twitter-nya diberi kesempatan untuk dapat mengakses halaman yang dibuat secara khusus untuk transparansi bantuan tersebut. Keterbukaan inilah yang membuat donatur percaya dengan usaha Saptuari, selain akuntabilitas dirinya sebagai seorang pengusaha muda ternama.

Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan jejaring informasi Twitter dipermudah dengan euforia kemunculan perangkat telekomunikasi yang mulai merakyat. Di dalamnya dimanjakan dengan fitur-fitur khusus yang mengarah ke penggunaan jejaring informasi dan sosial, sehingga pemakainya dapat melakukan update informasi secara real time. Sebut saja gadget-gadget portabel seperti Blackberry dan smartphone lain yang sudah banyak mendukung aplikasi seperti Twitter dan Facebook.

Facebook dikenal sebagai jejaring sosial yang dapat melakukan berbagai macam interaksi. Tidak hanya melakukan update informasi, tetapi juga mampu membentuk sebuah forum diskusi yang sederhana. Peran Facebook lebih banyak berisi tentang penggalangan bantuan dan share informasi seputar berita terkini antar sesama anggota grup. Kemudian anggotanya saling menanggapi dalam bentuk komentar maupun pemberian reputasi/rating like.

Seperti cara pengumpulan dana bantuan yang dilakukan oleh Alfia Innayati. Bersama kawan-kawannya, ia membuat grup di Facebook dengan nama Komisi Pemuda Keparakan Peduli Merapi. Mereka menyebarkan keberadaan grup tersebut untuk menggalang dana dan bantuan logistik dari kawan sekolah dan rekan kerja yang terhubung mudah melalui jaringan sosial Facebook. Bahkan, bantuan hingga didapat dari seorang warga Belanda yang mengirimkan uang senilai 150 Euro untuk dua bayi kembar yang turut menjadi korban bencana Merapi [Sucahyo, 2010].

Revolusi penggunaan jejaring informasi dan sosial menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk menyikapi bencana. Facebook dan Twitter telah merubah cara manusia untuk saling berhubungan dan memanfaatkannya untuk saling berbagi. Dalam pemanfaatannya, media tersebut telah mampu membuktikan diri menjadi arena berbagi informasi yang tidak bisa dianggap remeh.

Portal Bencana Jalin Merapi

Pemanfaatan portal bencana dalam peristiwa erupsi Merapi yang dimulai sekitar bulan Oktober 2010 merupakan inisiatif berharga yang patut diacungi jempol. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Posko Jalin Merapi melalui portalnya. Pada kenyataannya, portal tersebut mampu menjadi pintu gerbang komunikasi antara pencari informasi dengan keadaan  bencana yang sedang terjadi.

Jalin Merapi mengembangkan konvergensi media dengan streaming radio komunikasi RIGG, radio komunitas, dan layanan pesan pendek (SMS) untuk melayani publik yang ingin mengetahui kondisi dan situasi Gunung Merapi terkini, terutama penanganan para pengungsi dan korban Merapi.

Tujuan awal pembuatan Portal Jalin Merapi yaitu untuk membantu para sukarelawan di Posko Jalin Merapi yang mengerjakan pendataan korban, penyebarluasan logistik, obat-obatan, dan pengelolaan informasi lapangan. Kerja-kerja pendataan dinilai berjalan lancar dan mudah berkat bantuan portal tersebut, meskipun para sukarelawan yang terlibat masih awam menggunakan piranti lunak yang dimaksud [Suparyo, 2010].

Portal Jalin Merapi sendiri dibuat dengan menggunakan perangkat lunak sumber terbuka (open source). Hal ini juga merupakan kelebihan tersendiri bagi pengelola portal tersebut, karena untuk mengembangkan portal semacam ini sebenarnya tidak perlu membutuhkan banyak biaya. Dengan kemampuan sumber daya manusia yang unggul, banyak cara yang dapat dituju untuk mencapai sebuah tujuan mulia, yaitu menyampaikan informasi secara terbuka dengan segala keterbatasan yang ada.

Informasi yang ada pada portal tersebut tidak hanya disampaikan secara statis, tetapi dinamis. Dari berita seputar kondisi daerah sekitar Merapi, radio live streaming pemantau, daftar kebutuhan pengungsi, informasi persebaran pengungsi, pencarian korban hilang dan meninggal, serta berbagai tanggapan dan komentar yang muncul dari berbagai jejaring informasi. Semuanya saling terhubung dan terkemas secara rapi dalam satu wadah, yaitu berupa portal bencana Jalin Merapi.

Misalnya ketika itu pernah suatu kali distribusi bantuan menumpuk di posko pengungsian terbesar di wilayah Sleman, yaitu Stadion Maguwoharjo. Dengan menghimpun data-data yang ada, kelebihan pasokan bantuan tersebut segera dimasukkan ke dalam daftar informasi logistik. Sedangkan kekurangan bantuan di posko lain dapat diatasi dengan melakukan request terlebih dahulu ke portal tersebut dengan mengisi daftar data dan kebutuhan pengungsi.

Selanjutnya, melalui prosedur yang ada, pengirim dan penerima bantuan melakukan konfirmasi melalui contact person yang disertakan. Bantuan pun dapat segera dikirimkan dan informasi dapat di-update kembali dengan cepat, tanpa harus banyak melakukan birokrasi yang lama dan berlebihan.

Begitu pula dengan proses evakuasi, baik yang berhubungan dengan pendataan korban meninggal, orang hilang, hingga penempatan pengungsi, semuanya lebih aktual ketika dihimpun dan disampaikan secara langsung melalui portal tersebut. Tak jarang berbagai media arus utama seperti radio, televisi, dan surat kabar banyak mengambil data dari media informasi online, tentu melalui sumber-sumber yang dapat dipercaya.

Melalui berbagai kemudahan akses informasi yang ada, jika tidak diimbangi dengan pengelolaan dan transparansi informasi yang baik, tentu hasilnya tidak akan pernah optimal. Misalnya, untuk melakukan penyaluran bantuan yang merata, suatu barak/penampungan pengungsi harus terlebih dahulu melakukan pendataan terkait jumlah pengungsi beserta kebutuhannya. Untuk itu, sangat diperlukan tenaga ahli yang dapat mengelola informasi tersebut dengan tepat.

Menanggapi keampuhan media informasi digital dewasa ini, tampaknya pemerintah harus memikirkan lagi strategi terbaik untuk menanggapi bencana yang datang secara tiba-tiba, terutama yang berhubungan dengan penggalangan dan distribusi bantuan. Langkah-langkah yang dilakukan harus lebih taktis, sehingga diperoleh hasil yang cepat dan maksimal. Sinergi penggunaan alat komunikasi dan media informasi yang baik melalui akses teknologi yang ada tentu akan menjadi keuntungan tersendiri jika dikelola dengan baik.

Daftar Pustaka

[1]   Malik, Candra. 2010. “Menyusuri Pelosok, Membangkitkan yang Terseok”. Majalah Rolling Stone Indonesia, Edisi 68, Desember 2010, halaman 64-71.

[2]   Nazaruddin, Muzayin. 2010. “Bantuan di Maguwoharjo : Masuk Gampang, Keluar Susah (2)”. http://merapi.combine.or.id/baca/10739/bantuan-di-maguwoharjo%3A-masuk-gampang–keluar-susah-%282%29.html, diakses tanggal 20 Maret 2011.

[3]   Nugraha, Bayu Sapta. 2010. “Kompak Merapi : Dipercaya Masyarakat, Diabaikan Pemerintah”. http://merapi.combine.or.id/baca/10912/kompak-merapi%3A-dipercaya-masyarakat–diabaikan-pemerintah.html, diakses tanggal 20 Maret 2011.

[4]   Sucahyo,Nurhadi. 2010. “Saptuari Sugiharto: Galang Bantuan Merapi lewat Facebook & Twitter”. http://www.voanews.com/indonesian/news/Facebook-dan-Twitter-Media-PenggalanganBantuan-Bencana-110891989.html, diakses tanggal 20 Maret 2011.

[5]   Suparyo, Yossy. 2010. “Jalin Merapi Olah Data dengan Open Source”. http://combine.or.id/2010/11/jalin-merapi-olah-data-korban-merapi-dengan-open-source/, diakses tanggal 20 Maret 2011.

*Essay ini dilombakan penulis di ajang kompetisi Annual Essay Competition (ANNESC) 2011 yang diselenggarkan Sub Direktorat PPKB UGM dan mendapat juara Harapan 2 kategori Bahasa Indonesia dengan subtema Aplikasi Ilmu dan Teknologi dalam Penanganan Bencana.
Komentar
You May Also Like