MASIH teringat jelas dalam benak Sukirman ketika ia mengenang masa panen tembakau sedang bersuka cita. Sekira tujuh belas tahun yang lalu, di tahun-tahun runtuhnya Orde Baru dan buruknya kondisi ekonomi nasional, ia justru banyak mengambil untung dari penjualan hasil panen tembakau ke pabrikan. “Di tahun-tahun itu, saya bisa untung hingga 2,5 juta/kuintal dari biasanya 700 ribu/kuintal,” kenangnya sambil duduk meleseh.
Siang itu Sukirman mengenakan kopiah berwarna putih dan celana panjang berwarna cokelat. Para tetangga di Dusun Paok Rengge memanggilnya sebagai Pak Haji. Sebutan ‘haji’ yang melekat di depan namanya ia peroleh setelah berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 2002 yang biayanya diambil dari tabungan, hasil keuntungan menanam tembakau. Pak Haji Sukirman, yang juga Kepala Dusun Paok Rengge itu, bercerita banyak tentang proses menanam tembakau dan seputar pengalamannya bertani tembakau.
Proses pembibitan hingga musim panen tembakau setidaknya memerlukan antara 3 sampai 4 bulan pada musim kemarau. Untuk satu tanaman tembakau biasanya melalui 8 masa petik, dari bagian yang paling bawah sampai bagian paling atas. Selanjutnya tembakau tersebut dikeringkan menggunakan metode pengasapan tradisional sebelum dijual kepada pabrikan. “Dalam sekali proses pengasapan ini, kami bisa menghasilkan satu ton tembakau kering. Saya harus begadang tiga hari hanya untuk menunggui proses curing tembakau agar hasilnya bisa maksimal,” ujar Samsul, pekerja yang sering membantu proses curing, yang juga hadir mendampingi Sukirman. Di sekitar Paok Rengge setidaknya ada 5 tempat pengasapan tradisional, tetapi yang aktif tinggal 2 tempat.
Kini Sukirman sudah tak lagi bertani tembakau. Salah satunya karena ia trauma dengan kejadian di tahun 2010. Tahun malapetaka bagi semua petani tembakau karena curah hujan di Indonesia yang sangat tinggi. Kerugiannya mencapai 100 juta. Selain menjabat sebagai kepala dusun, ia masih bekerja untuk membantu proses pengasapan tembakau yang terletak tak jauh dari rumahnya.
Di usianya yang sudah menginjak kepala lima, Sukirman punya tiga anak. “Anak yang pertama masih kuliah di jurusan kedokteran. Saya sering diingatkan dia, kalau merokok jangan terlalu banyak,” ujar Sukirman sambil terkekeh. Sebelum bekerja sebagai petani tembakau, Sukirman sempat berprofesi sebagai tukang ojek, TKI, dan pekerja batubara.
Dusun Paok Rengge, yang terletak di Dusun Waja Geseng, Lombok Tengah, adalah satu dari sekian banyak kawasan di Lombok yang tanahnya cocok ditanami tembakau virginia. Istilah virginia mengacu pada nama kawasan yang pertama kali membudidayakan tembakau virginia, yaitu negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Ciri khas tembakau virginia adalah warna daun tembakau yang berwarna terang (“bright tobacco”), hijau kekuning-kuningan hingga oranye, yang terbentuk melalui pengawetan dengan corong pemanas (flue-cure). Tembakau virginia tumbuh di wilayah subtropis dengan curah hujan yang ringan. Selain di Lombok dan Virginia, tembakau jenis ini juga tumbuh di negara bagian Georgia, Brazil Selatan, dan Zimbabwe.
“Tembakau di Lombok ini termasuk jenis tembakau istimewa karena Lombok menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang ditumbuhi tembakau jenis virginia yang berkualitas baik,” kata Pak Iskandar, senior manager gudang tembakau Djarum. Lelaki kelahiran Sidoarjo yang sudah separuh usianya bekerja di gudang tembakau itu menjelaskan perkembangan pertanian tembakau di Lombok dari dulu hingga sekarang. Menurut sejarahnya, tembakau virginia dibawa oleh bangsa Portugis di era sebelum Indonesia merdeka. Setelah era kemerdekaan, tembakau dikelola oleh beberapa pabrikan yang terus berkembang sampai saat ini.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Pak Iskandar, kami diajak berkeliling gudang tembakau untuk melihat proses pemilihan jenis tembakau sebelum dibawa ke pabrik. Di pintu masuk gudang tembakau Djarum, tampak antrian petani yang menjual hasil panen tembakau kepada pabrikan. Sedangkan para pekerja musiman di dalam gudang tembakau tampak sedang mengklasifikasikan jenis tembakau kering berdasarkan warna dan coraknya. Mula-mula lembaran tembakau itu ditimbang, dipilih berdasarkan jenisnya, diawetkan, di-grading berdasarkan kualitasnya, baru kemudian diangkut dengan truk untuk diserahkan ke pabrik rokok di Kudus.
Gudang Djarum berdiri sejak tahun 1985. Kini dikelola oleh sekitar 40 orang karyawan organisasional dan sekitar 400 orang tenaga kerja musiman. Selain mengelola beberapa ladang tembakau, Djarum juga menerima pasokan tembakau dari kerjasama petani-petani tembakau lokal.
Tembakau telah menjadi salah satu primadona pertanian di Lombok. Wajar jika banyak masyarakatnya yang bergantung pada jenis pertanian tembakau. Sukirman menyayangkan ketidakseriusan pemerintah dalam mendukung petani tembakau. Hal tersebut sering ditemui ketika rapat penentuan harga tembakau yang biasanya dihadiri oleh petani, pabrikan, dan pemerintah. “Harga tembakau di sini ditentukan sesama petani, kemudian baru dirapatkan bersama pabrikan dan pemerintah. Namun, seringkali pemerintah tidak paham dan tidak nyambung dengan kondisi pertembakauan di sini,” kata Sukirman.
MESKIPUN wilayah geografis Lombok terdiri dari lautan dan pegunungan, masyarakat Sasak—suku asli Lombok—cenderung agraris. Nelayan tidak banyak karena selain jenis ikan tangkapannya kurang menarik, kondisi perairan di Lombok sebenarnya tidak telalu cocok untuk mencari ikan. Pernyataan tersebut selaras dengan kondisi wisata pantai di Lombok. Kendati banyak ditemui wisata pantai yang alami, tidak banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pariwisata. “Anggaran pariwisata Lombok sebenarnya tidak banyak, pengelola pariwisata di Lombok lebih banyak dari masyarakat pendatang, seperti dari Jawa dan Bali,” ujar budayawan Lombok, Paox Iben Mudhaffar.
Paox memaparkan tentang asal usul Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kondisi masyarakatnya. NTB secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu Sumbawa dan Lombok. Orang Sumbawa lebih dikenal sebagai para pejuang dan calon pemimpin. Sedangkan orang Lombok (masyarakat Sasak) dikenal sebagai orang yang tertinggal dan berpendidikan rendah. Ia mencontohkan orang-orang Sumbawa yang banyak menjadi pemimpin. Sedangkan orang asli Lombok dicontohkan sebagai orang yang buta aksara, sehingga tidak mungkin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Mataram muncul sekitar tahun 1300-an. Dulunya dikuasai oleh Anak Agung Gde Ngurah Karangasem, penguasa kerajaan di Bali dan sekitarnya. Selain orang asli Sasak, NTB juga terdiri dari masyarakat pendatang, terutama dari Jawa dan Bali. Oleh karena itu, tradisi masyarakat di Lombok banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan Islam. Budaya Hindu dibawa oleh raja-raja Bali yang pernah menguasai Lombok di abad ke-18. Sedangkan budaya Islam dibawa oleh dakwah Sunan Giri dan syekh dari Makassar.
Sebutan Mataram sebagai negeri seribu masjid menunjukkan bahwa Islam pernah berjaya di Mataram. Di sepanjang jalanan kota Lombok, jamak ditemui masjid dengan bentuk-bentuk yang unik. Berbeda dengan masjid-masjid di Jawa yang bentuknya cenderung sama, di Lombok bentuk masjidnya beragam. Dicat dengan rupa-rupa warna dan tampak dibangun dengan corak arsitektur yang rumit. Selain masjid, bukti peninggalan kejayaan Islam di Mataram adalah banyaknya pesantren.
DESA Bayan di Lombok Utara harus ditempuh selama tiga jam dari Mataram dengan menggunakan kendaraan. Bayan terletak di antara lautan dan pegunungan, sekitar 5 km dari laut Jawa dan 5 km dari puncak gunung Rinjani. Pantai-pantai dan barisan bukit mudah dijumpai di sepanjang mata memandang selama perjalanan ke Bayan. Sesekali pulau-pulau kecil (gili) di seberang lautan tampak lebih dekat.
Renadi, pemandu wisata adat Karang Bajo, bersama warga masyarakat setempat menyambut kedatangan kami. Sepotong syal yang terbuat dari kain tenun Lombok disematkan ke leher sebagai bentuk ucapan selamat datang. Kami berkumpul di bale dusun adat untuk penyambutan dan menyusun agenda kunjungan. “Rumah adat yang tahan gempa,” kata Renadi, saat menjelaskan bangunan bale dusun yang dibangun dari kayu-kayuan.
Ada beberapa rumah dan gubuk adat yang dibangun dari kombinasi rangka yang terbuat dari kayu, alas dan tembok dari anyaman bambu, dan atapnya yang terbuat dari jerami atau akar alang-alang. Rumah dan gubuk tersebut memang dipersiapkan untuk para wisatawan. Beberapa penduduk setempat juga tinggal di kawasan tersebut. Ada yang masih tinggal di rumah adat, ada juga yang sudah tinggal di dalam bangunan bertembok semen.
Karang Bajo merupakan satu desa di Bayan yang masih kental memelihara tradisi adat dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Ritual dan prosesi keagamaan masyarakat di Karang Bajo –representasi masyarakat Sasak– masih banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu, meskipun mereka kebanyakan adalah penganut agama Islam. Mereka masih menyelenggarakan beberapa tradisi adat yang unik, misalnya khitanan pada hari-hari tertentu, tidak boleh menikah dengan golongan tertentu, sanksi adat jika ada masyarakat yang melanggar etika dan aturan adat, serta sistem penanggalan hari keagamaan yang peringatannya tiga atau empat hari dari penanggalan nasional.
Berkunjung ke Lombok tak lengkap tanpa menjajaki keindahan alamnya. Selain mampir ke Pantai Senggigi, yang menurut saya tidak terlalu istimewa selain bentuk pantainya yang melengkung, kami menyempatkan trekking alam menuju air terjun Sindang Gile dan Tiu Kelep. Kedua air terjun tersebut dapat ditempuh dalam sekali perjalanan melalui Desa Senaru, tak jauh dari Desa Karang Bajo. Bagi para pendaki Gunung Rinjani, salah satu pintu masuk pendakian juga terdapat di desa itu.
Hutan yang begitu rimbun menemani perjalanan sekitar 20 menit menuju air terjun pertama, Sindang Gile. Medan yang naik turun, tetapi sudah dilengkapi anak tangga juga memudahkan para wisatawan menikmati perjalanan. Setelah menuju air terjun Sindang Gile, kami bergegas menuju air terjun kedua, Air Terjun Tiu Kelep. Jalur trekking semakin menyenangkan karena kami harus melewati beberapa sungai berbatu yang airnya jernih.
SAYA baru kali itu mengunjungi Lombok dalam rangkaian acara Jelajah Negeri Tembakau bersama belasan peserta lainnya. Sebelumnya, saya tak punya banyak pengalaman mengenai Lombok. Lombok yang saya tahu hanyalah tujuan alternatif bagi para wisatawan lokal dan asing setelah Bali. Atau Lombok sedikit mengingatkan saya pada webseries Endank Soekamti ‘Ngintip Soekamti’s 7th Album’ yang berisi proses rekaman album terbarunya di Gili Sudak. Atau mengingatkan saya dengan ayam taliwangnya yang mengenalkan citarasa kuliner dari Lombok—bahkan di setiap kami makan selalu ada menu ayam taliwang.
Dalam hidup, selalu ada yang pertama sebelum semuanya berlanjut. Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Lombok, sekaligus pengalaman pertama saya melayang di udara, naik kendaraan bernama: pesawat terbang!
Terima kasih kepada:
- PT Djarum dan teman-teman di Komtek yang sudah menggagas kegiatan ini.
- Kak Nuran Wibisono, Mas Alfa Gumilang, dan Mas Ronny Joni yang sudah memfasilitasi ticketing, agenda perjalanan, dan akomodasi selama di Lombok. Juga Mas Dona Roy yang sudah bantu mengangkut titipan dari Jogja ke Lombok.
- Teman-teman penulis, pegiat komunitas, dan blogger yang baru saya kenal di Jelajah Negeri Tembakau. Senang mengenal teman-teman baru yang sudah berbagi tawa dan kisah.
Baca juga tulisan-tulisan ciamik lainnya:
- “Simalakama Tembakau Nusantara”, oleh Viriya Paramita
- “Para Petarung dari Lombok”, oleh Ardyan M. Erlangga
- “Gemah Ripah Mako Lombok”, oleh Nudiyansah Dalidjo
- “One Trip, Helluva Lesson” dan “Jalannya Sekali, Belajarnya Berkali-kali”, oleh Pitoresmi Pujiningsih
- “Perjalanan Tembakau; Sisi Lain Eksotisme Lombok”, oleh Utami Pratiwi
- “Jelajah negeri Tembakau; Sebuah Catatan Perjalanan”, oleh Iffah Hannah
- “Jelajah Negeri Tembakau”, oleh Shellya Anindhita
- “Sehari di Negeri Tembakau”, oleh Fuji Adriza
- “Masyarakat Lombok Mengandalkan Tembakau di Tengah Ketidakberpihakan Pemerintah”, oleh Bambang Trisunu