Tidak banyak memori tentang timnas Indonesia yang saya ingat sebelum Piala AFF 2010 (dulu bernama Piala Tiger). Tahun 2002 saya lebih tertarik belajar kunci gitar Em-C-G-D lagu ‘Mimpi yang Sempurna’ (Peterpan) atau mendengarkan lagu ‘Menangis Semalam’ (Audy) yang seringkali diputar lewat radio sambil mengerjakan tugas persamaan linear dua variabel kelas VIII. Jika pun menonton sepak bola, paling-paling sesekali nonton liga Serie A.
Karena setiap kejuaraan tersebut digelar hampir selalu ditayangkan di stasiun televisi nasional, mungkin hanya satu dua pertandingan yang sempat saya saksikan. Toh, meski Indonesia sering masuk final, selalu gagal menjadi juara di Piala AFF. Tiba-tiba Indonesia sudah masuk final. Tiba-tiba Indonesia kalah lagi dan lagi.
Saya lebih mudah menghafal nama-nama pemain yang diucapkan komentator televisi ketimbang mengingat bagaimana mereka bermain di atas lapangan. Semisal nama-nama pemain timnas Indonesia kawakan seperti yang disebut di artikel ini: Bambang Pamungkas, Gendut Dony, Zainal Arif, Ilham Jaya Kesuma, atau Budi Sudarsono.
Pada masa itu, nama-nama tersebut memang sedang menjadi andalan timnas Indonesia. Bayangkan, secara beruntun, tahun 2000, 2002, dan 2004, Indonesia selalu masuk ke final. Tahun 2000 dan 2002, Indonesia bertemu Thailand di final. Indonesia hampir saja menang di final AFF 2002, tapi drama adu penalti menyebabkan Indonesia harus mengalah pada hasil akhir. Dua tahun kemudian, Indonesia bertemu lawan baru, Singapura, di babak final dan harus berakhir dengan agregat skor 5-3.
Tahun 2010 menjadi semacam oase bagi timnas Indonesia. Setelah enam tahun sejak masuk ke final terakhir dan pergantian nama (termasuk sistem kompetisinya) dari Piala Tiger menjadi Piala AFF, tahun 2010 Indonesia kembali masuk final bertemu Malaysia.
Tak tanggung-tanggung, final AFF tahun 2010 saya saksikan bersama kawan-kawan satu KKN. Berbagai atribut timnas kami kenakan untuk mendukung timnas, berharap kami semua bisa sesekali merasakan euforia kemenangan timnas. Namun, harapan itu agak berat karena di leg 1 saja, Indonesia sudah dibantai 3-0 oleh dwigol Safee Sali dan satu gol Ashaari di Stadion Bukit Jalil. Indonesia hanya bisa membalas dengan skor 2-1 tiga hari kemudian melalui gol Nasuha dan Ridwan.
Bisa dibilang sejak tahun 2010, zaman dan generasi sudah mulai berubah. Sosial media sedang naik daun, gerombolan suporter sudah dikuasai generasi milenial, dan gawai-gawai pintar semakin mudah digunakan.
Gegap gempita suporter tak hanya diungkapkan begitu saja di dalam stadion, tetapi juga melalui tembok-tembok linimasa. Saling sindir antar suporter jadi hal biasa dan beraneka keriuhan lainnya hadir untuk meramaikan duel dua negara sepersepupuan. Punya bahasa yang mirip dan basis suporter yang bisa dibilang militan.
Hari ini Indonesia kembali bertemu Thailand di pertandingan leg 2 final Piala AFF 2016. Empat belas tahun yang lalu, kedua negara itu bertemu di ajang yang sama. Thailand, yang sudah 8 kali masuk final AFF dari 11 kali penyelenggaraan AFF, dua tahun lalu menang atas Malaysia di final AFF. Statistik yang lain menunjukkan, pada dua pertandingan sebelumnya, Indonesia selalu bisa menyarangkan dua gol ke gawang Thailand.
Pertandingan malam nanti akan menentukan apakah trofi AFF tahun ini bisa direbut Indonesia dari bahtera kepemimpinan Kiatisuk Senamuang atau justru Thailand yang akan mempertahankan trofi tersebut hingga dua tahun ke depan.
Tak ada yang tahu pasti apa hasil pertandingan nanti malam. Yang jelas, Indonesia punya peluang besar untuk menang karena sudah menabung agregat gol di Pakansari.
Semoga malam nanti menjadi pertandingan yang menyenangkan, coach Riedl!