Perbincangan akhir-akhir ini yang sering mengganjal di pikiran saya adalah tentang pemahaman insan digital dalam menggunakan jejaring sosial. Untuk mereka yang tidak gagap teknologi, fenomena ini benar-benar sedang marak di dunia digital. Masalah yang muncul bukan karena ketersediaan infrastruktur atau alat-alat pendukungnya, tetapi pendekatan psikologis ketika seseorang terjebak dalam kolam fanatisme jejaring sosial.
Banyak yang berpendapat bahwa sekarang masyarakat mudah tergiur dengan teknologi, terutama yang sifatnya portabel dan mudah diakses/dijangkau. Kadang membuat beberapa dari mereka ‘lupa waktu’ dan sangat mengganggu pekerjaan jika tidak dikontrol dengan baik. Masyarakat lebih tertarik mengobral informasi, update status, atau hanya melihat timeline di berbagai jejaring sosial yang mereka ikuti.
Hal tersebut tentu sedikit demi sedikit kemungkinan akan mengubah gaya hidup seseorang. Mereka lebih menyukai kehidupan yang dinamis dengan berbagai kemudahan informasi yang diperoleh. Bertolak dari itu, sebagian pakar interaksi manusia dan teknologi juga meneliti bahwa kehadiran jejaring sosial yang ada akan mengubah masyarakat yang semula bergaya hidup sosial menjadi nirsosial (anti sosial).
Mereka dinilai nirsosial karena dengan jejaring sosial mereka akan asyik dengan gadget-nya, sehingga jarang/mengabaikan bertatap muka dengan orang lain. Mereka lebih nyaman berkomunikasi dengan teman-temannya melalui sebuah jejaring sosial, sehingga seakan dikucilkan oleh masyarakat sosial yang mungkin sedikit gagap teknologi. Akan tetapi, faktanya justru sebaliknya, jejaring sosial dewasa ini telah terbukti membawa konsep solidaritas yang kuat antar anggotanya, bahkan bisa mempengaruhi berbagai isu-isu masyarakat.
Pandangan yang mengatakan bahwa jejaring sosial akan menjauhkan manusia dari gaya hidup sosial menurut saya tidak selamanya benar. Jejaring sosial justru mengambil alih sebagai media komunikasi yang lebih komunikatif. Misalnya melalui Facebook kita dapat dengan mudah bertemu dan saling sapa dengan teman-teman lama kita, meskipun tidak secara tatap muka. Adanya fitur ‘mutual friend’ memudahkan anggotanya untuk mencari teman yang mungkin saling kenal. Aksi kepedulian seperti penggalangan dana / dukungan / bantuan bencana telah sukses membuat lahan jejaring sosial sebagai wahana yang berpotensi dan tidak diremehkan.
Contoh yang lain yaitu fitur grup yang dapat membangun komunitas online tertutup hanya untuk anggotanya. Saya sendiri melihat bahwa dengan kehadiran grup tersebut, anggotanya dapat secara bebas melakukan ‘sharing‘ informasi/pengumuman yang bermanfaat untuk anggotanya. Kadang banyak yang mengajak untuk melakukan tatap muka bersama, seperti nongkrong, main futsal, dan acara gathering lainnya. Saya membayangkan jika ada anggota yang tidak terdaftar atau tidak mempunyai akun jejaring sosial yang dimaksud, maka akan sangat tertinggal dengan informasi-informasi yang disuguhkan oleh tiap anggotanya. Mungkin inilah salah satu manfaat positif dari penggunaan jejaring sosial yang bijak.
Di dunia hiburan, jejaring sosial juga telah terbukti mampu meningkatkan popularitas seseorang. Misalnya di Twitter, popularitas bisa disaksikan melalui ‘trending topic’ dan jumlah ‘follower’. Seseorang yang bisa mengangkat suatu topik menjadi trending topic sudah pasti sedang marak dibicarakan, setidaknya oleh pengguna jejaring informasi Twitter. Sedangkan jumlah follower mencerminkan bahwa orang tersebut memang layak untuk diikuti sebagai acuan untuk memperoleh informasi sesuai dengan preferensi setiap orang.
Prestasi yang luar biasa saya temukan ketika band non-mainstream Superman Is Dead mampu menembus Billboard Uncharted beberapa bulan yang lalu. Band Indonesia pertama yang masuk dalam situs pemeringkatan musik dunia, setelah sebelumnya Anggun C. Sasmi. Alasan masuk Billboard, menurut sumber yang ada, salah satunya karena tingkat popularitas mereka yang tinggi di jejaring sosial, artinya interaksi mereka dengan pengikutnya memiliki intensitas yang tinggi. Bayangkan band yang tidak cukup dikenal dan disukai orang tersebut bisa menembus 1.800.000 fans di Facebook, mengalahkan fanpage band-band mainstream yang ada. Saya termasuk salah satu pengikutnya dan yang saya amati memang demikian, hampir setiap hari anggota SID secara langsung memberikan pemikiran-pemikiran yang kritis, tidak hanya seputar musik. Isu-isu sosial seringkali diangkat dengan cara yang menarik, sehingga banyak yang pro dan kontra antar aggotanya dalam berpendapat. Dengan demikian, orang tidak perlu secara langsung bertatap muka untuk membahas berbagai macam konflik-konflik di masyarakat, cukup dituangkan melalui tulisan yang bisa dibaca dan ditanggapi semua orang.
Fenomena yang lain lagi terjadi ketika Demokrasi Mesir bergulir beberapa waktu yang lalu. Beberapa pakar menilai bahwa salah satu yang mempengaruhi kejadian tersebut yaitu berbagai masukan atau aspirasi masyarakat dunia yang disuarakan melalui jejaring sosial, sehingga melahirkan pandangan orang yang sepaham dengan istilah ‘cyberutopianism’. Sebuah pandangan bahwa ikatan jejaring sosial yang kuat mampu meruntuhkan pergulatan politik suatu negara, bahkan hingga berdampak ekonomi dalam suatu negara. Artikel lebih jelasnya dapat dibaca ulasan Nukman Luthfie di Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Maret 2010.
Setidaknya ada tiga jejaring sosial dan informasi yang saya gunakan sampai saat ini, diantaranya Facebook, Twitter, dan Plurk. Masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri sesuai dengan fitur yang ditawarkan. Facebook lebih ke jejaring pertemanan dimana anggotanya adalah orang-orang yang hanya saya kenal. Facebook bermanfaat ketika kita menginginkan informasi yang detail dan hidup, misalnya pembicaraan tentang suatu topik, berbagi informasi melalui status/note, serta mempererat solidaritas melalui grup khusus.
Twitter lebih luwes disebut sebagai jejaring informasi, karena hanya mendukung 140 karakter, biasanya menyajikan informasi singkat mirip ‘newsfeed’. Balasan/reply/tanggapan atas tweet seseorang dapat dilakukan dengan fitur Reply dan Retweet. Keunggulan Twitter terletak pada fitur follower-nya. Kita bebas memilih orang yang akan kita follow timeline-nya. Tidak perlu melakukan ‘approve’ terlebih dahulu untuk melihat status orang lain, seperti pada Facebook. Misalnya kita dapat mem-follow teman atau idola-idola kita, sehingga semakin dekat dengan kesehariannya. Tidak hanya itu, terkadang bisa menilai pemikiran seseorang melalui timeline-nya. Jika tidak suka dengan timeline seseorang, kita juga dengan mudah dapat melakukan unfollow setiap waktu.
Saya mengenal Plurk dari teman-teman kampus yang kebetulan sering menggunakan jejaring sosial ini. Plurk saya nilai sebagai perpaduan antara Facebook dan Twitter, atau mungkin berada di tengah-tengahnya. Di dalamnya terdapat sistem karma, dimana setiap anggota berhak memperoleh karma yang tinggi, semakin tinggi karma maka penggunanya semakin aktif menggunakan Plurk. Pembicaraan di Plurk lebih sering ke obrolan seputar kampus atau bidang yang saya tekuni. Terkadang diperoleh diskusi instan menarik yang terus mengalir berdasar urutan waktu.
Memahami penggunaan jejaring informasi dan sosial yang berbeda tidaklah beralasan. Masing-masing mempunyai posisi tersendiri sesuai dengan kebutuhannya, tergantung sikap pengguna itu sendiri. Pengguna tentu harus jeli, kapan dan apa tujuan menggunakan aplikasi yang berbeda-beda tersebut. Pemilihan jejaring sosial yang tepat tentu saja akan saling melengkapi kebutuhan informasi yang kita butuhkan, tidak semakin nirsosial, tetapi justru bisa lebih sosial dan peduli dengan keadaan. Cheers…