Di tengah hiruk pikuk media sosial dewasa ini, ada satu hal yang terkadang membuat saya bingung. Banyak orang menggunakan kata dan ejaan Bahasa Indonesia yang masih salah untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ya, itulah Bahasa Indonesia, yang sudah setengah abad lebih diserukan muda mudi Indonesia sebagai bahasa persatuan, sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Beberapa penggunaan ejaan yang sudah beberapa kali disunting tersebut, seakan dilupakan begitu saja.
Jika dahulu, kita masih ingat pelajaran teori Bahasa Indonesia, seringkali kita menemukan beberapa patah kata yang seharusnya salah, tetapi kita justru malah menganggap itu adalah benar. Mungkin karena sudah terlalu sering melihat salah penulisan tersebut, lantas membudaya, dan tak pernah dievaluasi. Akibatnya, kepedulian kita terhadap penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak ada. Meskipun mungkin beberapa dari kita menganggap hal tersebut tidak penting. Faktanya, Bahasa Indonesia hanya diajarkan secara teori di sekolah, sedangkan prakteknya masih kurang.
Mungkin lain bagi mereka yang memang berkecimpung di dunia sastra. Seharusnya banyak yang lebih peduli dengan hal-hal semacam ini. Guru-guru kita bisa dikata sudah cukup lelah untuk menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Harapan mereka pastilah agar anak didiknya benar-benar mengamalkan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya, bukan sekadar teori.
Kemunculan istilah-istilah baru semakin menambah kebingungan saya ketika ditanyai orang akan maksud istilah tersebut. Dalam kamus KBBI yang sudah distandarkan pun tak ada definisi istilah tersebut.Misalnya seperti kata “alay” dan “ababil”.Parahnya ada beberapa kata yang seringkali disalahartikan, sehingga menjadi kebenaran umum.Misalnya seperti kata “galau”, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), berarti “sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak karuan (pikiran)”. Saya pernah bertanya kepada teman saya yang seringkali (atau setidaknya ikut-ikutan) menggunakan kata tersebut tentang arti kata itu , dan banyak yang menjawab kurang tahu atau malah disamakan dengan arti kata “ragu”, “bimbang”, dan “bingung”.
Miris lagi, budaya yang salah itu sudah menjadi kerak yang tak pernah lekang oleh zaman.Kaum-kaum terdidik dan terpelajar juga otomatis ikut terbawa arus yang salah tersebut. Contoh yang paling dekat dan sering saya temui adalah dalam penulisan-penulisan ilmiah. Banyak yang masih saja menggunakan kata “praktek” (salah) dibanding kata “praktik” (benar). Itu hanya sekelumit contoh, saya percaya masih ada banyak kekeliruan serupa. Sepertinya penggunaan ejaan yang benar sudah mulai ditinggalkan, terutama dalam melakukan penyuntingan sebuah karya ilmiah, entah itu berupa paper, laporan, maupun skripsi.
Akhir-akhir ini saya sering membaca beberapa karya ilmiah berbahasa Indonesia, karena saya sedang mempersiapkan tulisan untuk pembuatan laporan dan skripsi saya nantinya. Saya membandingkan kualitas tulisan ilmiah dan tulisan non-ilmiah. Ternyata dari sekian baris kalimat masih ada saja penulisan dan penggunaan kata yang tidak tepat. Misalnya istilah asing masih saja lupa diberi penanda khusus (huruf miring), salah ketik terlalu banyak, dan penulisan tidak ilmiah (seperti bahasa novel/cerita).
Okelah, jika kita berbicara konten sebuah tulisan berbahasa Indonesia, setujukah jika sebaik apapun isi tulisannya, tetapi jika masih banyak salah ejaan dan tulisan, pantaskah disebut sebagai tulisan yang berkualitas? Bagi saya percuma, kita sebagai insan terdidik tidak punya sama sekali usaha untuk menyempurnakan kesalahan tersebut. Lebih lagi jika masih ada orang yang tidak tahu sama sekali mana yang benar dan salah, kurangnya perhatian atas masalah ini, bahkan lupa mengingatkan ketika sebuah tulisan sudah terlanjur dipublikasikan.
Saya khawatir, jika suatu saat ada orang asing yang belajar Bahasa Indonesia, bagaimana menjelaskan kepada mereka bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah kita akan membela kesalahan tersebut agar dibenarkan? Saya kira Bahasa Indonesia tidak sekerdil itu. Yang saya tahu, Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa yang kaidah dan penggunaannya sesuai dengan standar Ejaan yang Disempurnakan (EYD) terbaru.
Apa jadinya jika sebuah kata asing (misal Bahasa Inggris) terdapat sedikit salah penulisan, tentu kata tersebut mempunyai lain makna, bukan? Banggakah jika suatu saat kita dihadapkan pada sebuah kata yang salah tulis, tanpa disunting, kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebenaran? Ya, tentu saja tidak, akan sangat malu menerima kebenaran di sisi yang salah. Sebisa mungkin, marilah kita beranjak dan buktikan bahwa bahasa kita adalah hebat! Dengan mencintai sastra, karya-karya anak negeri, dan selalu peduli dengan hal-hal salah yang dianggap sepele.
Ada baiknya kita harus bangga terlebih dahulu mempelajari dan menghargai bahasa ibu kita sendiri, Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sebelum mempelajari tata bahasa yang lain. Sebagai warga negara yang terdidik janganlah kita membuat sia-sia ilmu yang didapat, masih banyak orang-orang di sana yang sangat ingin terdidik seperti kita. Kemampuanlah yang membedakannya. Saya bukan ahli bahasa, tetapi saya sangat mencintai Indonesia. Kapan kita memulai ini semua? Semoga saya dan mata yang membaca tulisan ini mulai tergoda untuk menenggak madu kebenaran. Cheers…