Seni dalam Rupa Digital: Mengkaji Pameran Art Jog 2014

Seni dalam Rupa Digital: Mengkaji Pameran Art Jog 2014

Sebuah gagasan untuk melahirkan ruang pamer karya seni yang membaur (immersive) melalui teknologi mixed reality.

Siang itu panas begitu terik. Parkiran di depan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tampak tidak begitu ramai. Saya mengunjungi pameran seni rupa tahunan Art Jog 2014 yang bertajuk “Legacies of Power”.  Art Jog adalah festival, pameran, dan pasar seni rupa kontemporer yang digelar tahunan yang biasanya digelar di TBY. Ini adalah kali kedua saya mengunjungi gelaran Art Jog. Sebelumnya, saya juga pernah mengunjungi pameran seni kontemporer Art Jog 2013 dengan tema “Maritime Culture”.

Jika pada gelaran Art Jog sebelumnya tidak dipungut biaya, gelaran kali ini dipungut biaya tiket masuk sebesar Rp 10.000 per orang (baca: Hari Ini ArtJog 2014 Pamerkan Karya 103 Seniman). Menurut panitia, diberlakukannya tiket masuk tersebut adalah  bagian dari mendidik panitia dan juga masyarakat umum untuk lebih menghargai karya seseorang.

Dari gerbang pintu TBY, sekumpulan boneka karung goni berdiri berjajar pada sebuah panggung yang memiliki banyak anak tangga. Boneka-boneka tersebut memperagakan beragam rupa dan ekspresi. Sebuah panggung yang memang dipajang sebagai sajian selamat datang kepada para pengunjung Art Jog 2014.

Seni dan Teknologi

Ada hal yang berbeda di acara Art Jog 2014 kali ini. Karya-karya kontemporer hasil kurasi yang dipajang tidak hanya berupa lukisan, seni rupa handcraft, patung, kolase, produk, dsb, tetapi juga termasuk seni-seni media rekam. Seni media rekam yang dipamerkan pun tidak hanya ditampilkan melalui monitor LCD berukuran kecil, tetapi di beberapa ruang pamer, perangkat proyektor dan layar berukuran besar juga ikut ambil bagian. Beberapa karya media rekam tersebut mencoba menampilkan karya seni dalam bentuk cerita (telling story).

Beberapa objek seni yang lain sudah dilengkapi dengan saklar sebagai perangkat interaksi pengunjung terhadap produk yang dipamerkan. Misalnya di bagian ruang yang memajang kuda-kuda pegasus, ketika saklar diinjak maka akan muncul suara audio dan menyalakan lampu. Di ruang yang lain, pengunjung akan melihat sebuah panggung sorak kecil yang jika ada orang yang menginjak panggung tersebut maka akan menghadirkan suara tepuk tangan dan menyalakan lampu sorot.

Saya melihat bahwa keberadaan perangkat-perangkat digital yang semakin banyak, seperti LCD, proyektor, dan ruang-ruang pertunjukan di Art Jog melahirkan sebuah gagasan yang menarik. Seni yang mencoba dibaurkan dengan pemanfaatan teknologi semakin menambah daya tarik pengunjung-pengunjung pameran di era informasi.


Sebagai contoh, ketika saya masuk ke dalam ruangan yang memamerkan karya video atau animasi seni. Saya bisa duduk di bangku yang disediakan sambil menyaksikan film-film pendek dalam kondisi ruangan yang gelap layaknya sebuah bioskop kecil. Bagi siapa saja yang masuk ke dalam ruangan tersebut, tentu akan merasakan sebuah keintiman. Hal ini akan berbeda jika ruangan tersebut dalam kondisi terang.

Perpaduan seni dan teknologi di ArtJog 2014

Pemanfaatan perangkat-perangkat teknologi tersebut masih sebatas satu arah (menampilkan video/animasi/pola bergerak kepada pengunjung). Di sisi lain, perangkat-perangkat tersebut dapat digunakan secara lebih luas lagi untuk membangun karya yang bersifat dua arah, yaitu dengan menggabungkan dunia nyata dan dunia virtual (digital). Misalnya jika perangkat-perangkat tersebut disertai perangkat-perangkat tambahan seperti kamera dan sensor, akan sangat mungkin dibangun sebuah karya dengan sentuhan mixed reality yang bernilai seni.

Mixed reality adalah sebuah terma yang menjelaskan bagaimana lingkungan nyata dan lingkungan virtual dapat saling melengkapi dan menambahkan informasi-informasi tertentu secara real time (baca: A Taxonomy of Virtual Displays oleh Paul Milgram dan Kishino). Dalam kajian mixed reality, kita akan mengenal teknologi-teknologi seperti augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). Kita bisa belajar dari berbagai penelitian dan kajian pemanfaatan teknologi dalam lingkungan pameran, seperti yang sudah dilakukan di Museum Van Gogh di Belanda, Museum Louvre di Perancis, Swan House (Atlanta History Center) di Amerika, dan British Museum di Inggris.

Ruang Pamer

Lingkungan pameran yang menarik tidak terlepas dari tata ruang, pencahayaan, serta cara penyajian karya. Orang-orang yang bergiat di belakang Art Jog, yang sebagian besar berlatar belakang seniman, tentu sudah paham dengan hal-hal semacam ini. Museum-museum di Indonesia harus belajar dari pameran seni yang digarap serius seperti yang sudah dicontohkan oleh Art Jog, terutama dalam hal dekorasi tata ruang pamer yang bernilai seni, menarik, dan nyaman untuk dinikmati.

Dalam hal ini, kata ‘dinikmati’ menjadi hal yang penting karena akan menentukan daya tarik pengunjung untuk menggali setiap karya yang disuguhkan. Dinikmati tidak hanya berarti dapat dilihat dalam sekilas pandang, tetapi juga dapat dirasakan secara langsung oleh pengunjung. Untuk menumbuhkan ‘rasa’ tersebut, pengunjung harus mempunyai pengalaman dan kesan tersendiri saat berinteraksi dengan karya-karya yang dipamerkan.

Beberapa contoh penyajian karya seni rupa di ArtJog 2014

Di sisi lain, tata ruang pamer yang baik juga akan mendukung teknologi-teknologi berbasis konteks bekerja dengan baik. Sebagai contoh, teknologi AR berbasis markerless akan sangat peka terhadap cara penyajian objek yang dipamerkan dan tata cahaya yang cukup untuk ruangan indoor. Ruangan tersebut harus mempunyai tata cahaya yang stabil dan posisi objek yang dapat dinikmati pada sisi-sisi tertentu. Contoh lainnya yaitu ketika teknologi VR membutuhkan ruang khusus untuk menampilkan lingkungan virtual dalam bentuk 3D. Ketersediaan ruang-ruang multimedia di museum (seperti di Art Jog) sudah layak untuk mengenalkan teknologi semacam VR.

Sebuah ruang pamer, entah itu dalam bentuk festival, pameran ataupun museum harus menggunakan cara-cara baru untuk bercerita, termasuk melibatkan pengunjung secara langsung dalam penciptaan dan kurasi konten (baca: Museums in the Digital Age oleh ARUP). Hal ini dilakukan agar pengunjung tidak merasa bosan dengan kondisi atau lingkungan yang begitu-begitu saja, tetapi juga sekaligus mendapatkan kesan dan pengalaman berbeda setiap kali mengunjungi tempat-tempat tersebut pada kesempatan yang lain.


“I think the future of museums will be a lot more personalised than the current one-fits-all visitor experience, with technology allowing people with different interests to each have a tailored experience. The museum experience is becoming increasingly collaborative. Museums are becoming more comfortable with letting audiences have a say, and again technology can facilitate this”, mengutip Jim Richardson, pendiri Museum Next dan Sumo Design.

Museum harus dapat menjawab pertanyaan ‘apakah peninggalan masa lalu akan terus memiliki makna yang sama, atau setidaknya menyampaikan implikasi serupa di masa sekarang?’ Museum harus dapat membawa kondisi atau implikasi tersebut untuk tujuan edukasi dan memberikan pemahaman kepada pengunjung bahwa benda-benda yang dipamerkan mengandung nilai-nilai yang pantas untuk dihargai sebagai sebuah peninggalan.

Lingkungan ruang pamer ArtJog 2014
Lingkungan ruang pamer ArtJog 2014

Untuk mewujudkan ruang pamer yang dinamis, data-data umpan balik yang diperoleh dari pengunjung sangat diperlukan untuk menggali, memperbaiki, dan meningkatkan pengalaman pengunjung saat mengunjungi ruang-ruang pamer. Konsep ‘green design’ yang mengedepankan sistem yang efisien untuk mendukung ruang pamer juga dibutuhkan, baik dari segi efisiensi pencahayaan, suara akustik, penggunaan energi, juga limbah/sampah yang dihasilkan.

Referensi

  1. http://www.tempo.co/read/news/2014/06/07/058583158/Hari-Ini-ArtJog-2014-Pamerkan-Karya-103-Seniman, diakses tanggal 28 Juni 2014.
  2. ARUP Foresight + Research + Innovation. Museums in the Digital Age. October 2013.
  3. Milgram, Paul, and Fumio Kishino. “A taxonomy of mixed reality visual displays.” IEICE TRANSACTIONS on Information and Systems 77.12 (1994): 1321-1329.
  4. Kolstee, Yolande, and Wim van Eck. “The augmented Van Gogh’s: Augmented reality experiences for museum visitors.” Mixed and Augmented Reality-Arts, Media, and Humanities (ISMAR-AMH), 2011 IEEE International Symposium On. IEEE, 2011.
  5. Miyashita, Tsutomu, et al. “An augmented reality museum guide.” Proceedings of the 7th IEEE/ACM International Symposium on Mixed and Augmented Reality. IEEE Computer Society, 2008.
  6. Angelopoulou, Anastassia, et al. “Mobile Augmented Reality for Cultural Heritage.” Mobile Wireless Middleware, Operating Systems, and Applications. Springer Berlin Heidelberg, 2012. 15-22.
  7. Marion, Laurie. Designing Downtown: A Mobile Augmented Reality Tour of Downtown Atlanta. Diss. Georgia Institute of Technology, 2013.

Komentar
You May Also Like