Istilah ‘homeless media’ belakangan ini santer terdengar. Saya jadi penasaran apa dan bagaimana paradigma ‘homeless media’. Setelah membaca tulisan Eddward S Kennedy ini saya jadi punya gambaran, seperti apa bentuk ‘homeless media’ itu.
Ditambah lagi dengan mencoba browsing informasi seputar istilah tersebut. Hingga saya menemukan tautan soal ‘homeless media’ yang ternyata sudah diadopsi oleh Opini.id. ‘Homeless media’ merujuk pada konsep pemajangan konten ke beberapa platform media, termasuk media sosial sesuai dengan karakternya. Ketimbang sebuah media menyediakan landing page berupa situsweb yang secara infrastruktur membutuhkan banyak biaya.
Di sisi yang lain, maraknya media sosial seperti sekarang ini membuat banyak media sebenarnya juga kesulitan mengakuisisi penggunanya ke platform-platform media sosial (misalnya Twitter, Facebook, Instagram, dll.). Sementara media-media tersebut memiliki situsweb yang jadi wadah untuk meletakkan konten-konten yang mereka produksi. Belum lagi jika ada platform baru muncul, mereka harus segera menyesuaikan format konten (teks, image, video, audio, dll.) dan ciri pengguna (cara pengguna berinteraksi) platform tersebut.
Persoalannya kemudian konten-konten yang dibuat di platform media sosial tersebut sebagian besar mengambil konten-konten yang ada di situsweb. Sederhananya hanya memindahkan dan memecah konten-konten web ke dalam platform tersebut. Tidak ada konten-konten baru yang menjadi ciri khas, kecuali hanya perbedaan platform.
Padahal beda platform, tentu beda cara mengakuisisinya. Tiap platform punya ‘audience’ atau semacam pengikut yang mempunyai karakter sangat berbeda. Dari cara menyampaikan informasi dan model interaksinya. Ini menyebabkan sebuah media tidak mungkin menggunakan pendekatan yang sama.
Kendati bisnis ‘homeless media’ ini seolah-olah memotong biaya untuk merawat situsweb, tapi tetap saja biaya untuk membuat konten kreatif membutuhkan cost dan usaha yang tidak murah. Tim konten kreator pun harus gegas beradaptasi dengan jenis platform yang dipilih untuk mempelajari bentuk konten apa yang paling cocok dan karakter ‘audience’ seperti apa yang akan disasar.
Beberapa contoh ‘homeless media’ yang tengah berkembang saat ini selain Opini.id, ada Pijaru, Zetizen (Jawa Pos), MLDSpot, AJ+ (Al Jazeera), Tasty (Buzzfeed), dan sebagainya. Media besar semacam Business Insider, atau jika di Indonesia ada MalesBanget dan CNN juga turut membangun konsep semacam ini. Jika Business Insider dan MalesBanget menggunakan platform Instagram Story, CNN menggunakan Snapchat, sebagai platform andalan mereka.
Sebuah grup jaringan konten yang menamakan dirinya Group Nine, bekerja sama untuk membuat grup yang terdiri dari beberapa media independen Thrillist (lifestyle), NowThis Media (video news), The Dodo (animals) dan Discovery’s digital network Seeker. Keempat media ini membangun sebuah grup ‘homeless media’ yang tujuannya untuk mengembangkan jaringan pembaca mereka dengan beberapa pilihan tema konten.
Media-media tersebut paling tidak sudah mulai mencari alternatif lain untuk mendulang peluang dari sisi bisnis. Mereka tengah mencoba meraup pendapatan melalui konten kreatif (content ads) yang dipajang pada platform-platform tersebut, tidak hanya melulu melalui situsweb yang mereka miliki.
Selain beberapa ‘homeless media’ yang disebut dalam tulisan ini, saya jadi ingat NYT VR (New York Times Virtual Reality). Dua tahun lalu, media NYT mengujicobakan sebuah platfom jurnalisme VR melalui aplikasi VRSE (pernah saya tulis di sini). Tahun ini VRSE berubah nama menjadi NYT VR.
NYT VR pada dasarnya adalah konten jurnalisme naratif yang disampaikan melalui teknologi virtual reality. NYT VR adalah platform VR yang dimiliki oleh NYT, yang menjadi wadah sekaligus landing page video-video dalam bentuk VR. Semua dikerjakan dengan serius dengan menawarkan beragam sudut pandang menarik.
Konten-konten dalam aplikasi NYT VR sangat segar dan tidak ditemui pada situsweb nytimes.com sendiri. Bahkan ketika saya mencari ke situsweb NYT, tautan ke halaman NYT VR tidak ada di halaman utama situsweb. Kenapa? Karena produk ini sasarannya adalah pengguna smartphone, jadi tidak perlu memberikan tautan ke platform yang jelas-jelas hanya bisa diakses melalui aplikasi smartphone.
Jika ada yang pernah menggunakan aplikasi ini, beberapa videonya merupakan hasil kerja sama dengan beberapa pihak pengiklan. Dan NYT saat ini menjadikan platform ini sebagai jualan mereka dalam bentuk video story yang dikemas dalam bentuk VR. Selengkapnya bisa dilihat di tautan ini.
Halaman depan NYT VR memajang informasi sebagai berikut:
“All it takes is a smartphone. Embed with Iraqi forces during a battle with ISIS. Take a meditation journey to the California coast. Climb to the top of One World Trade Center. Set foot on a planet three billion miles from the sun. Experience stories in an immersive, 360-degree video experience, reported by our award-winning journalists.”