Dari sekian banyak ratusan juta rakyat Indonesia, sebagian besar dari mereka pastilah tidak akan melewatkan event pergantian tahun. Entah apa tujuan mereka berbondong-bondong menuju titik keramaian yang menyebabkan suasana hiruk pikuk di tengah-tengah kota. Berbagai pertunjukan digelar besar-besaran, mengundang banyak artis pujaan, dan menjanjikan diri untuk membuat sebuah resolusi di tahun selanjutnya.
Pola hedonisme masyarakat yang kian menjadi-jadi adalah pertanda bahwa negara ini adalah negara konsumtif. Mereka bersenang-senang dengan kenikmatan duniawi, ketika sebagian besar dari mereka mengaku beragama. Hampir semua agama tentu mengajarkan hamba-hambanya untuk menjauhi hal-hal yang bersifat hedonisme. Sepertinya yang mereka maksud dengan ‘Tuhan’ adalah benar adanya kesombongan, ketidakadilan, keserakahan, kedangkalan, dan sebagainya.
Saya jadi berpikir, apa yang ada di benak mereka ketika jati diri bangsa ini masih teraniaya oleh otoritas pemerintah yang sepertinya sedang tidak beres. Simak beberapa kasus di sepanjang tahun 2011 ini, budaya kasus korupsi, sengketa lahan di berbagai tempat, kisah sinetron PSSI yang tidak jelas, pluralisme yang tak pernah dipahami, diskriminasi Papua, tragedi anak punk yang digunduli, mundurnya beberapa wakil rakyat, teka-teki mahasiswa bakar diri, dan lain sebagainya. Semua masih ditelan dalam parodi misteri yang bias. Tidak tahu kapan semuanya bisa tuntas, bahkan terus berlanjut, malas mencari solusi, dan lupa membahas sampai ke akar-akarnya.
Kita semua masih tetap saja tunduk pada babi-babi penguasa. Apakah kita tidak ingat bahwa negara ini adalah negara demokrasi. Kita yang terbiasa bungkam harusnya bisa jadi sumbu yang menyulut perbaikan atas kebobrokan bangsa ini. Tidak perlu mengajak banyak orang, tapi cukup dengan keyakinan melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Setidaknya bagi kepentingan diri sendiri dan orang lain. Tak perlu lah kita harus jadi wakil rakyat di mimbar kehormatan di sana untuk memperbaiki keadaan. Suara-suara kita harusnya bisa jadi amunisi yang ampuh melawan kekuasaan absolut.
Beruntung saya termasuk jamaah orang-orang yang tidak berhingar bingar merayakan tahun baru. Mercon disana sini, petasan melompat ke udara, harapan diteriakkan, tapi entah terlaksana atau tidak. Semua omong kosong dan kebanyakan berisi cita-cita buat diri sendiri di tengah mayoritas yang terdiri dari individu-individu berbeda. Padahal sejatinya bertambahnya tahun adalah bertambanya umur, dimana kita semakin mendekati ajal. Jelas sudah bahwa kembang api adalah berhala buat mereka yang percaya bahwa tahun depan adalah suka cita di atas duka yang teramat parah.
Masih lagi, selepas pesta tahun baru sampah-sampah sisa perhelatan suka cita rakyat tercecer dimana-mana. Mereka tak pernah tahu siapa yang akan peduli dengan sampah-sampah itu. Di antara mereka yang menjumputi sampah, saya yakin bukan termasuk orang-orang yang beruntung secara finansial. Saya baru saja baca berita, keberadaan tong sampah di tempat keramaian pesta tahun baru justru tampak menganga. Rakyat lebih suka buang sampah sembarangan, hal kecil yang jika diakumulasi adalah gunungan sampah. Maka rasanya tidak perlu malu untuk mengatakan bahwa tanah Indonesia adalah tempat sampah bagi rakyatnya.
Di beberapa kota, pesta tahun baru kali ini diwarnai dengan rintik-rintik hujan, bahkan banjir di beberapa tempat. Ya, banjir! Kalau kita flashback ke zaman ketika masih sekolah dulu, entah masih ingat atau tidak, banjir itu disebabkan karena timbunan sampah. Guru-guru sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di mata pelajaran PMP/PPKn/Kewarganegaraan bahkan sering memberikan soal ujian tentang bagaimana cara menjaga kebersihan di tempat umum. Inilah salah satu kebiasaan kotor masyarakat yang malas menjaga kebersihan dari hal-hal kecil, selain perencanaan tata kota yang tidak tepat. Sayang teori hanyalah teori, praktik masyarakat terdidik tidak membuahkan kenyataan, justru ketololan.
Empat ratus juta rupiah adalah nilai nominal yang dikeluarkan pihak Ancol untuk membeli seperangkat kembang api yang akan dibuang sia-sia di atas langit. Belum di berbagai tempat dan kota yang lain. Sudah berapa miliar kembang api yang dilariskan oleh orang-orang tajir yang gemar menghabiskan uang. Alasannya mungkin sederhana : untuk bersenang-senang dan melihat keindahan di atas langit. Orang-orang tajir yang entah dapat uang dari mana itu mungkin tak merasakan kesesakan hidup manusia miskin di pinggiran dan berpenyakit, yang hanya bisa melongo mendengar suara petasan dan warna warni langit di udara. Mereka menghitung dan memperkirakan berapa banyak uang yang dihamburkan dalam semalam itu. Melas.
Mengapa setiap pergantian tahun selalu dirayakan dengan pesta? Pernahkah sekali pun kita mengasingkan diri untuk menunduk sementara atas kekurangan-kekurangan kita? Bukankah hari esok harus lebih baik dari sekarang? Percaya lah tak ada yang tahu esok akan seperti apa. Yang jelas ketidaksempurnaan yang kita miliki saat ini adalah cambuk yang sangat berarti untuk mencorat coret skema hari esok.
Berkaca diri selalu penting untuk menunjukkan jati diri sebagai manusia. Barangkali perlu menengok sebentar ke belakang, apa yang harus jadi pekerjaan rumah masing-masing di tahun selanjutnya. Bukannya saling mengadu ramalan-ramalan tak penting soal gosip artis dan peruntungan tanggal kiamat.