Bagi mereka yang sering hilir mudik melewati jalur selatan Jogja-Cilacap, Jogja-Purwokerto, atau sebaliknya, ada beberapa moda transportasi umum yang biasa digunakan.
Biasanya pilihannya ada 4: naik kereta (Prameks atau kereta reguler), bus ekonomi, bus eksekutif, atau travel. Semua moda transportasi itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya, jika naik bus eksekutif atau travel, penumpang harus naik di agen. Jika naik kereta, penumpang harus mematuhi jadwal keberangkatan.
Bus ekonomi cenderung paling fleksibel dari segi waktu dan tarif. Penumpang bisa naik di mana saja dan kapan saja. Harganya jauh lebih murah dibanding moda transportasi yang lain, meskipun waktu tempuhnya lebih lama dibanding yang lain.
Saya sudah delapan tahun ini bolak-balik Jogja-Kebumen. Naik travel baru sekali. Naik bus eksekutif baru dua kali. Sisanya, saya lebih sering menggunakan kereta, bus ekonomi, atau kombinasi keduanya. Jika tiket kereta habis atau parkir motor di stasiun penuh, saya segera bergegas mencari bus ekonomi. Ngetem di depan Pasar Gamping.
Harga tiket kereta Prameks jurusan Jogja-Kutoarjo saat ini 10.000 rupiah dengan waktu tempuh satu jam. Karena kereta Prameks hanya sampai Kutoarjo, saya harus naik bus dari Kutoarjo ke Kebumen selama setengah jam dengan tarif ekonomi 7.000 rupiah. Total 17.000 rupiah untuk satu perjalanan dengan dua moda transportasi. Jika saya hanya menggunakan bus ekonomi, tarif untuk Jogja-Kebumen sekarang yaitu 25.000 rupiah dengan waktu tempuh 2,5 jam untuk tujuan yang sama.
Bandingkan jika saya harus naik bus Efisiensi. Tarif bus tersebut dipatok sama untuk semua jurusan, yakni 70.000 rupiah. Hampir tiga sampai empat kali lipat tarif tiket moda transportasi yang lain. Dalam sehari, ada sekira 56 trayek bus Efisiensi yang keluar masuk wilayah Jogja. Jumlah yang luar biasa.
Ada sejumlah alasan kenapa saya menyebut Efisiensi sebagai bus tengil selain harganya yang terlampau mahal. Pertama, bus itu rajin berganti-ganti corak body. Kedua, fasilitas bus itu mewah (larinya kencang, tidak banyak berhenti, suara mesinnya halus, dilengkapi AC, punya beberapa rest area). Ketiga, belakangan bus itu akan menerapkan tiket online.
Jika alasan ketiga diterapkan, maka penghasilan awak bus yang diperoleh dari menaikkan penumpang akan berkurang. Selain itu, penumpang juga akan kesulitan memperoleh moda transportasi yang lebih fleksibel dan nyaman. Di waktu-waktu tertentu, tiket bus bisa jadi sulit diperoleh karena banyak yang memesan tiket secara online. Agaknya kebijakan untuk membuat tiket online untuk bus tengil itu masih berlebihan.
Saya seringkali menyimak obrolan para sopir dengan kernet bus ekonomi yang merasa cemburu dengan adanya bus Efisiensi itu. Maklum, bus tengil itu satu-satunya bus eksekutif tanpa tandingan dengan tarif flat jauh-dekat dan segala fasilitasnya. Gaji sopir dan kernetnya pastilah lebih tinggi. Seragam hariannya lebih ngejreng dan bersih. Saingan mereka hanyalah bus-bus ekonomi yang tampak lusuh luar dalam, berhenti di sembarang tempat, dan knalpot-knalpotnya yang acapkali mengeluarkan asap hitam pekat.
Pagi ini saya naik bus ekonomi ‘Aman’ dari Kebumen menuju Jogja. Di sepanjang perjalanan, saya mengamati dari balik jendela kaca di samping tempat duduk penumpang. Tak ada satu pun bus tengil itu melintas. Terminal-terminal pemberhentian Efisiensi, dari Rest Area Wonosari hingga Rest Area Ambarketawang, tampak begitu lesu.
Saya baru sekali naik bus tengil itu, tepat dua hari sebelum awak PO Efisiensi melakukan aksi mogok.
*Sumber berita: http://www.republika.co.id/…/nmdl73-awak-mogok-bus-po-efisi…