Tak Berkategori

Tetralogi Buru #1 – Bumi Manusia: Kisah Pribumi Hindia Melawan Eropa

Beberapa waktu yang lalu saya sempatkan jalan-jalan ke sebuah toko buku. Tentu ada banyak buku yang ditawarkan di sana. Kebetulan saya sedang haus akan tulisan-tulisan bermutu. Lantas berjalanlah saya menuju ke kumpulan buku-buku best seller. Sebelumnya saya terlebih dahulu mencari-cari informasi tentang buku-buku yang ditulis sastrawan Indonesia beserta resensinya. Dan akhirnya bertemulah dengan sebuah roman tetraloginya Pramoedya Ananta Toer. Buku episode pertama adalah Bumi Manusia.

Secara umum buku ini adalah sebuah buku yang bercerita tentang konflik emosi antara orang-orang Pribumi Hindia (Indonesia) pada waktu itu dengan orang-orang Eropa (Belanda). Setting atau latar kejadian pada roman ini berlangsung kira-kira ketika Hindia dijajah oleh bangsa Eropa. Tetapi yang diceritakan bukan tentang perang fisiknya, melainkan ada semacam perbedaan kasta antara orang pribumi Hindia dengan orang Eropa. Orang keturunan Eropa dianggap lebih tinggi derajatnya daripada orang pribumi.

Pelaku utama dalam roman ini adalah Minke, seorang pribumi terdidik, karena bersekolah di sekolahnya anak-anak Eropa di Hindia, namanya HBS. Ia adalah seorang penulis dalam bahasa Belanda yang diterbitkan untuk koran-koran zaman itu. Tulisannya dikenal bagus oleh sebagian pembaca yang kebanyakan orang Eropa. Ia menggunakan nama samaran Max Tollenaar untuk setiap hasil publikasinya.

Minke berteman dengan Robert Suurhof, ia sebenarnya keturunan Pribumi, tetapi terpaksa menyebut dirinya Eropa karena ada sedikit sangkut pautnya. Suatu kali Suurhof mengajak Minke berkunjung ke rumah temannya, yaitu Robert Mellema, seorang keturunan Eropa yang mempunyai kekayaan luar biasa. Annelies, adalah adik kandung Mellema, dan Minke jatuh cinta padanya. Keduanya saling menjalin kasih dengan berbagai perang batin di antara kehidupan sosial, keluarga, dan orang-orang terdekatnya.

Di sisi yang lain ada tokoh bernama Nyai Ontosoroh alias Sanikem, ibu Annelies, yang kagum akan tulisan-tulisan Minke. Nyai Ontosoroh menjadi pengelola usaha yang didirikan oleh suaminya (Herman Mellema) yang sudah agak “gila”. Usaha yang dikelolanya berkembang pesat, diantaranya pemerahan sapi, hasil pertanian, dan ternak kuda, sehingga ia sangat disegani oleh warga sekitar sebagai priyayi yang paling kaya. Begitu pula dengan Minke yang juga kagum dengan Nyai Ontosoroh karena pemikiran Nyai yang bisa mengimbangi pikiran Minke yang terdidik. Nyai tersebut keturunan pribumi yang tidak pernah sekolah, tetapi ia sangat mengerti kebudayaan tentang Eropa. Suaminya yang mengajarkan itu semua, karena suaminya yang berdarah Eropa.

Sang penulis, Pram, menggambarkan bagaimana seorang pribumi yang idealis dan terdidik bisa melepaskan cengkeraman ketidakadilan derajat pada masa itu dengan pemikirannya melalui tokoh Minke. Hingga pada akhirnya keduanya, Minke dan Annelies menikah.

Pemilihan kata (diksi) yang disuguhkan penulis memanjakan pembacanya menerka-nerka maksud kata-kata kiasan yang digubahnya. Penulis berhasil mengungkapkan emosi dan batin Minke secara detail, sehingga seakan pembaca dipaksa untuk benar-benar merasakan apa yang sebenarnya sedang terjadi.


Beberapa pesan yang saya tangkap setelah membaca roman ini yaitu sebagai berikut :

  • Jadilah orang yang berani membela kebenaran, karena dengan kebenaran kita akan dapat membuktikan mana yang benar dan salah.
  • Jadilah orang yang tidak mudah sombong dan rendah diri di hadapan orang lain, dengan begitu kita akan selalu dihormati dan dihargai oleh orang lain.
  • Setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk hidup dan berpendapat, status sosial bukan menjadi alasan seseorang menindas hak orang lain.
Komentar
You May Also Like