Isaacson dan Para Inovator

Membaca karya Isaacson selalu menyenangkan. Lain halnya dengan membaca Einstein atau Steve Jobs yang cenderung personal/biografis. Buku ini mencoba menarasikan perjalanan banyak inovator yang berjasa membawa peradaban revolusi digital dari masa ke masa lewat kemajuan teknologi, dari generasi sebelum komputer hingga internet.

Saya sendiri seringkali sulit menentukan siapa sebenarnya penemu komputer? Apakah dimulai dari mesin pencacah (kalkulator)? Dari mesin enkripsi Alan Turing di Bletchley Park? Dari tabung transistor? Dari komputer generasi pertama, kedua, dan seterusnya? Ini berbeda dengan para penemu teknologi di zaman revolusi industri yang mudah kita sebutkan penemunya, semisal mesin uap oleh James Watt, pesawat oleh Wright bersaudara, telepon oleh Graham Bell, dsb.

Komputer diciptakan melalui kreativitas yang panjang (hampir satu abad). Penyempurnaan komponen-komponen perangkat keras dan ide tentang logika matematika/komputer yang membentuknya juga memegang peranan yang penting dalam sejarah penciptaan komputer, bahkan hingga saat ini. Dari yang mekanis menjadi elektronis. Dari tabung hampa udara hingga mikroprosesor. Dari bilangan berbasis sepuluh hingga bilangan biner. Dari kecepatan transfer data yang lamat hingga kecepatan transfer data beratus kali lipat. Dari bentuk yang besar hingga ke bentuk yang mungil.

Buku ini ditulis selama satu dasawarsa oleh Isaacson, tentu melalui riset yang bernas. Ia bahkan harus berhenti menulis buku ini untuk menyelesaikan buku Steve Jobs. Kepiawaian Isaacson dalam merangkai kisah, mengolah berbagai sumber referensi, serta memasukkan banyak wawancara, membuat buku setebal 400-an halaman ini menyenangkan untuk dibaca.

Berikut adalah tiga paragraf terakhir —yang menurut saya paling berkesan— yang ditulis oleh Isaacson untuk mengantar buku ini:

Hal terakhir yang membuat saya terkesan ialah betapa kreativitas sejati pada era digital dicetuskan oleh orang-orang yang mampu menghubungkan seni dengan sains. Mereka meyakini keindahan itu penting. “Semasa kanak-kanak, saya menganggap diri saya ini orang humaniora, tetapi saya suka elektro,” kata Jobs saat saya mengerjakan biografinya. “Kemudian, saya membaca bahwa salah seorang idola saya, Edwin Land, pendiri Polaroid, mengatakan bahwa orang-orang yang mampu berdiri di persimpangan antara humaniora dan sains memegang arti penting. Saya lantas memutuskan inilah yang ingin saya lakukan.” Orang-orang yang nyaman berdiri di persimpangan humaniora-teknologi berperan dalam menciptakan simbiosis manusia-mesin yang menjadi into kisah ini.

Sama seperti banyak aspek dari era digital, pemahaman bahwa inovasi bersemayam di persinggungan antara seni dan sains bukanlah wacana baru. Leonardo da Vinci adalah contoh orang kreatif yang subur berkarya pada area persilangan antara ilmu humaniora dan ilmu alam. ketika sedang pusing mengerjakan risalah Relativitas Umum, Einstein kerap mengambil biola dan memainkan komposisi Mozart sampai dia bisa kembali menghubungkan diri ke— menurut istilah Einstein sendiri — harmoni antara ranah-ranah yang berlainan.


Terkait komputer, ada seorang tokoh historis, tidak setenar da Vinci atau Einstein, yang mengejawantahkan perpaduan antara seni dan sains. Sebagaimana ayahnya yang terkenal, wanita tersebut memahami romantisme puisi. Lain dengan sang ayah, dia juga mafhum akan romantisme matematika dan mesin. Dari tokoh tersebutlah cerita ini berawal.

Selamat membaca dan berakhir pekan!

Komentar
You May Also Like